PERAWAT
DAN
PEMAKAIAN
OBAT SECARA RASIONAL
Pendahuluan
Hidup yang sehat sebagai hak azasi manusia diwujudkan dalam bentuk pemberian berbagai upaya kesehatan kepada seluruh
masyarakat melalui penyelenggaraan
kesehatan
termasuk penggunaan obat yang rasional. Penggunaan obat yang rasional
merupakan bagian dari upaya kesehatan yang harus dilakukan oleh tenaga kesehatan
yang memiliki
etika dan moral
yang
tinggi, dengan
pengetahuan serta keterampilan yang secara terus-menerus harus ditingkatkan kualitasnya.
Pada kenyataannya, penggunaan obat yang kurang rasional
masih banyak dijumpai dalam pelayanan kesehatan sehari-hari, mulai
dari praktik dokter, balai pengobatan, puskesmas, sampai di rumah sakit. Yang digolongkan pemakaian obat yang kurang rasional antara lain adalah pemakaian obat secara berlebihan baik dalam jenis maupun
jumlah dosis, indikasi
pemberian obat yang tidak jelas, tatacara pemakaian atau penggunaan yang tidak tepat, kombinasi berbagai obat
yang berisiko tinggi,
penggunaan obat mahal sementara masih banyak obat sejenis yang lebih murah, serta
penggunaan jenis obat suntik dan infus yang tidak perlu. Pada akhirnya penggunaan
obat yang tidak rasional, selain akan berdampak buruk bagi kesehatan individu pasien,
namun
juga dapat menjadi sumber pemborosan anggaran negara dan
meningkatkan
beban
tambahan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Proses pengobatan
menggambarkan
suatu
proses normal atau
"fisiologik" dari
pengobatan,
di
mana
diperlukan
pengetahuan, keahlian
sekaligus
berbagai pertimbangan profesional dalam setiap tahap sebelum membuat suatu keputusan.
Kenyataannya dalam praktek, sering dijumpai
kebiasaan pengobatan (peresepan, prescribing habit) yang tidak berdasarkan proses dan tahap ilmiah tersebut. Hal ini sering menimbulkan suatu keadaan "patologik" atau
tidak normal dalam peresepan dengan berbagai dampaknya yang merugikan. Secara umum patologi peresepan ini
lebih dikenal sebagai
peresepan yang tidak rasional (irrational prescribing) atau peresepan yang tidak benar(in appropriate prescribing).
Penggunaan
Obat yang Tidak Rasional
Terdapat beberapa
kriteria untuk dikatakan bahwa pemberian obat sudah rasional atau
tidak. Penggunaan obat yang baik harus memenuhi lima tepat yaitu, tepat sesuai klinis
atau diagnosis,
tepat dosis, tepat jangkau waktu, tepat informasi, dan tepat harga. Jika tidak memenuhi beberapa unsur itu, pasien sebagai konsumen akan dirugikan karena harus mengonsumsi obat secara tidak rasional dan mengeluarkan
biaya pengobatan yang lebih
mahal.
Pemakaian obat yang tidak rasional
merupakan masalah serius dalam pelayanan kesehatan oleh karena kemungkinan dampak negatif yang terjadi. Di banyak negara, pada berbagai tingkat pelayanan kesehatan, berbagai
studi dan temuan telah menunjukkan bahwa pemakaian obat jauh dari keadaan optimal dan rasional.
Yang jelas masih banyak hal yang dapat ditingkatkan dalam pemakaian obat umumnya
dan khususnya dalam peresepan
obat (prescribing). Secara singkat, pemakaian obat (lebih sempit lagi adalah peresepan obat atau prescribing), dikatakan tidak rasional
apabila kemungkinan untuk memberikan manfaat kecil atau tidak
ada
sama sekali, sedangkan kemungkinan manfaatnya tidak sebanding dengan
kemungkinan efek samping atau biayanya (Vance & Millington, 1986). Di sini terkandung
aspek manfaat, risiko efek samping dan biaya. Tidak dapat disangkal
lagi bahwa dalam membuat pertimbangan
mengenai manfaat, risiko dan biaya ini masing-masing dokter dapat berbeda sama sekali. Tetapi perbedaan tersebut dapat dikurangi atau diperkecil
kalau
komponen-komponen dasar dalam proses keputusan terapi atau elemen-elemen pokok pemakaian obat secara rasional tetap selalu dipertimbangkan.
Tujuan pengobatan
secara umum adalah untuk mengobati
tanpa meninggalkan efek
samping atau dengan efek samping seminimal
mungkin, juga dengan harga obat yang terjangkau dan mudah didapat masyarakat. Dalam praktik sehari-hari yang dipengaruhi
oleh banyak faktor, tujuan pengobatan tersebut sering tidak tercapai. Faktor-faktor yang
berpengaruh dalam pemberian obat kurang rasional
antara lain:
1. Kurangnya pengetahuan dari tenaga kesehatan dalam ilmu obat-obatan;
2. Adanya kebiasaan dokter
meresepkan jenis atau merk obat
tertentu;
3. Kepercayaan
masyarakat terhadap jenis atau merk obat
tertentu;
4. Keinginan pasien yang cenderung ingin menggunakan obat tertentu, dengan sugesti
menjadi
lebih
cepat
sembuh.
5. Adanya sponsor dari industri farmasi tertentu;
6.
Pemberian obat berdasarkan adanya hubungan baik perorangan dengan pihak dari industri farmasi;
7.
Adanya keharusan dari
atasan dalam suatu instansi atau lembaga kesehatan untuk
meresepkan jenis obat tertentu;
8. Informasi yang tidak tepat atau bias, sehingga pemakaian obat menjadi tidak tepat;
9. Beban
pekerjaan yang terlalu
berat
sehingga tenaga kesehatan
menjadi
tidak sempat untuk berpikir mengenai rasionalitas pemakaian obat;
10. Adanya
keterbatasan
penyediaan
jenis
obat
di
suatu
instansi atau
lembaga kesehatan tertentu, sehingga jenis obat yang diperlukan
untuk suatu penyakit justru tidak tersedia,
sehingga memakai obat
yang lain.
Penggunaan obat yang
kurang
rasional atau tidak sesuai
dengan standar
pengobatan dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum. Adanya berbagai efek dari tiap
jenis obat dapat menimbulkan efek interaksi obat di dalam tubuh yang dapat
merugikan ataupun membahayakan apabila pemakaian obat diberikan dalam jumlah
jenis yang melebihi
batas.
Sebagai contoh, apabila diberikan 3 jenis obat maka akan didapatkan adanya 3 macam jenis interaksi
obat, namun apabila diberikan
5 jenis obat
akan menghasil
kurang lebih 10 macam interaksi obat yang mempunyai resiko tinggi bagi pemakai.
Pemakaian
obat
suntik serta infus yang kurang rasional juga banyak
ditemukan di lapangan, terutama pada sarana kesehatan tingkat dasar seperti puskesmas ataupun
dokter praktik swasta di daerah dengan ruang lingkup
komunitas masyarakat menengah ke bawah. Adanya kepercayaan yang berakar
pada masyarakat berpendidikan rendah yang merasa
belum diobati apabila belum
diberikan obat
suntik.
Jenis
infus yang jenisnya terbatas & tersedia pada sarana kesehatan
seperti puskesmas juga
menyebabkan penggunaan infus menjadi
tidak tepat.
Adanya berbagai media informasi (media cetak, televisi, radio, internet, dst) juga memberikan efek kurang baik yang menyebabkan masyarakat menggampangkan memakai obat
seperti
obat pengurang
nyeri atau penurun
panas
yang
tidak tepat indikasi pemakaiannya. Seperti karena adanya beban pekerjaan, maka seseorang
dengan gampang menggunakan obat pengurang nyeri
karena merasa
sedikit
nyeri kepala. Begitupun bagi para ibu rumah tangga yang cepat merasa khawatir apabila ada anaknya yang demam, maka dengan cepat mereka diberikan obat penurun
panas. Penggunaan obat antibiotik
pada praktik pelayanan kesehatan
dapat
digolongkan
menjadi beberapa
jenis yaitu pengobatan suatu penyakit berdasarkan pedoman dosis &
cara tertentu, & ada juga yang menggunakan dosis berdasarkan pengalaman sehari- hari.
Adanya kekebalan
& tingkat infeksi kuman
yang meningkat, menyebabkan dosis pengobatan biasanya lebih tinggi
dari
pada yang seharusnya. Ditambah pula dengan adanya kemajuan teknologi
farmasi yang mengembangkan antibiotik menjadi beberapa
generasi
& terus berkembang sampai sekarang.
Banyak dokter praktik swasta sekarang yang merangkap
menjadi pemasar dari perusahaan farmasi tertentu atau mengikuti keanggotaan Multi Level Marketing (MLM) kesehatan. Umumnya, produk yang dijual adalah suplemen makanan (food supplement) atau
multivitamin. Pemakaian suplemen makanan ataupun multivitamin ini menjadi tidak
rasional tatkala
pemberian tidak
berdasarkan
indikasi,
atau
karena harga
yang
dikenakan cukup mahal,
kadangkala malah jauh lebih mahal daripada
obat yang justru
penting diberikan untuk penyakitnya.
Pada beberapa
kasus, perusahaan farmasi yang menjadi sponsor penyelenggaraan kegiatan ilmiah, kadang dianggap berhubungan dengan kebijakan pelayanan kesehatan yang menjadi terikat pada ‘hubungan’ tenaga kesehatan dengan
perusahaan farmasi
tersebut. Keengganan menuliskan resep obat generik oleh kebanyakan dokter
karena
intervensi perusahaan farmasi seperti
inilah yang membuat masyarakat kelas menengah ke bawah menjadi
kadang harus membayar lebih mahal untuk obat yang seharus dapat dibeli dengan murah.
Di puskesmas daerah yang sangat terpencil & sangat sulit dijangkau karena medan
yang sulit ditempuh oleh pegawai dinas kesehatan, kadang pasokan obat-obatan tidak terjamin dengan lancar,
karenanya pegawai puskesmas hanya memberikan obat-obatan
yang hanya tersedia kepada pasien yang berobat, walaupun indikasi pemakaiannya tidak tepat.
Menilik banyaknya permasalahan, diusulkan alternatif pemecahan masalahnya:
1. Tenaga kesehatan didorong mengikuti forum-forum ilmiah mengenai penggunaan
obat rasional untuk menambah wawasan serta ilmu pengetahuan tenaga kesehatan
mengenai obat. Seperti kita ketahui, pengobatan akan memberikan efek pokok, efek
samping, efek yang tak terduga &
efek racun. Karenanya menambah
wawasan soal ini merupakan suatu keharusan
mengingat kemungkinan risiko yang akan ditimbulkan.
2. Membatasi
penggunaan obat suntik ataupun
pemberian infus yang tidak perlu.
3.
Menghimbau
kepada pemerintah
untuk membantu
membatasi iklan di media massa yang ‘menghasut’ konsumen untuk menggunakan obat bebas tertentu yang dalam jangka
panjang mempunyai efek samping
yang kurang baik untuk kesehatan.
4.
Pemberian suplemen
makanan atau multivitamin hanya apabila tenaga
kesehatan
merasa pasien memang memerlukannya. Misalnya pada pasien kencing manis diberikan makanan yang tidak mengandung glukosa. Sebaiknya tenaga kesehatan juga melihat keadaan
ekonomi si pasien, mengingat harga suplemen makanan umumnya mahal.
5.
Mendorong kebiasaan untuk menulis resep obat
generik, mengingat harga obat
generik yang
terjangkau oleh hampir seluruh lapisan masyarakat.
6.
Meminta pemerintah untuk memperbanyak publikasi
mengenai
penggunaan obat
rasional, yang dipasang di tempat umum & sarana kesehatan. Juga mengharuskan
tenaga
kesehatan untuk mengikuti seminar/pelatihan mengenai penggunaan obat
yang rasional
disertai ‘punish & reward’ dalam pelaksanaannya.
Dapat disimpulkan
bahwa penggunaan obat yang rasional merupakan hal yang seharusnya dilakukan oleh seluruh tenaga kesehatan, dengan mengingat adanya kemungkinan kesalahan dalam
pengobatan. Pengobatan dengan obat
yang
kurang tepat indikasinya atau harga yang lebih mahal dari yang seharusnya hanya akan
memberatkan pasien.
Dampak Negatif Pemakaian Obat
yang Tidak
Rasional
Dampak negatif pemakaian obat yang tidak rasional sangat luas dan kompleks seperti halnya faktor-faktor pendorong atau penyebab terjadinya. Tetapi secara ringkas dampak tersebut dapat digambarkan seperti
berikut.
1. Dampak terhadap mutu pengobatan dan pelayanan
Beberapa kebiasaan peresepan yang tidak rasional akan
mempengaruhi mutu
pengobatan dan pelayanan secara langsung atau tidak langsung. Secara luas juga
dampak negatifnya terhadap upaya penurunan
mortalitas dan morbiditas penyakit-
penyakit tertentu.
Misalnya, kebiasaan untuk selalu memberi antibiotik dan anti-diare terhadap kasus-kasus diare akut, tanpa disertai pemberian campuran rehidrasi oral (Oralit)
yang
memadai, akan berdampak
negatif terhadap
upaya penurunan mortalitas diare. Juga pemakaian tetrasiklin pada
kasus-kasus faringitis streptokokus
(yang disebabkan oleh
kuman Streptokokus
beta-hemolitikus) akan berdampak
negatif terhadap upaya pencegahan demam
rematik oleh karena tetrasiklin bukan obat pilihan untuk faringitis streptokokus.
2. Dampak terhadap biaya
pelayanan pengobatan
Pemakaian obat-obatan
tanpa
indikasi yang jelas, untuk kondisi-kondisi yang
sebetulnya tidak memerlukan terapi obat merupakan pemborosan, baik
dari sisi pasien maupun sistem pelayanan. Dokter mungkin kurang memperhatikan dampak
ekonomi ini, tetapi bagi
pasien yang harus membayar atau bagi sistem pelayanan
yang harus menanggung ongkos pengobatan, hal ini akan sangat terasa. Kebiasaan peresepan yang terlalu tergantung pada obat-obat paten yang
mahal, jika
ada alternatif obat generik dengan
mutu dan keamanan yang sama, jelas merupakan beban dalam pembiayaan
dan merupakan salah satu bentuk ketidak rasionalan.
3. Dampak terhadap kemungkinan efek samping obat
Kemungkinan risiko efek samping obat dapat diperbesar
oleh pemakaian obat yang
tidak tepat. Ini dapat dilihat
secara
individual pada masing-masing
pasien
atau secara epidemiologik dalam populasi. Pemakaian obat yang berlebihan baik dalam
jenis (multiple prescribing) maupun dosis (over prescribing) jelas akan
meningkatkan risiko terjadinya
efek
samping. Pemakaian
antibiotika
secara berlebihan
juga dikaitkan dengan
meningkatnya resistensi kuman
terhadap antibiotik yang bersangkutan dalam populasi (Levy, 1982).
Ini mungkin merupakan contoh dampak efek samping yang kurang nyata pada
seorang penderita tetapi jelas merupakan
konsekuensi
serius secara
epidemiologik.
4. Dampak psikososial
Pemakaian
obat secara berlebihan
oleh dokter seringkali
akan memberikan pengaruh psikologik pada masyarakat. Masyarakat menjadi
terlalu tergantung pada terapi obat walaupun intervensi obat belum tentu merupakan pilihan utama untuk kondisi
tertentu. Lebih parah lagi kalau kemudian karena
terlalu percaya atau tergantung pada intervensi obat, bentuk-bentuk intervensi lain untuk kondisi tertentu
tersebut lalu ditinggalkan. Sebagai contoh,
karena terlalu percaya bahwa pemakaian
obat seperti aspirin secara terus-menerus akan dapat mencegah penyakit jantung
koroner, maka profilaksi-profilaksi yang lebih penting terhadap faktor risiko yang sudah jelas misalnya, tidak merokok lantas diabaikan. Atau dalam klinik,
karena terlalu percaya pada pemberian profilaksi antibiotika maka
tindakan-tindakan aseptik
pada pembedahan lalu
tidak diperhatikan secara ketat.
Beberapa dampak negatif yang diutarakan tersebut mungkin jarang terperhatikan
sewaktu dokter menulis resep atau memutuskan pengobatan, tetapi baru akan jelas
kalau dikaji secara khusus dan luas. Mungkin masih banyak dampak-dampak negatif lain yang belum tercakup,
tetapi yang penting adalah bahwa
kemungkinan-kemungkinan
terjadinya dampak negatif tersebut bukanlah semata-mata sesuatu yang teoritis saja.
Ciri
Pemakaian Obat yang Tidak
Rasional
Seperti diutarakan di muka, secara ringkas dikatakan pemakaian obat tidak rasional
kalau manfaat yang didapat tidak
sebanding
dengan kemungkinan risiko
yang
disandang pasien
atau
biaya
yang
harus
dikeluarkan.
Tetapi secara lebih luas pemakaian obat yang tidak rasional akan
memberikan ciri-ciri umum seperti yang diuraikan berikut:
1.
Pemakaian obat dimana
sebenarnya indikasi pemakaiannya secara
medik tidak ada atau
samar-samar.
2. Pemilihan
obat yang keliru untuk indikasi penyakit tertentu.
3. Cara pemberian obat, dosis, frekuensi dan lama pemberian
yang tidak sesuai.
5. Pemakaian
jenis obat dengan potensi
toksisitas
atau
efek samping
lebih
besar padahal obat
lain yang sama
kemanfaatannya (efficacy) dengan potensi efek
samping lebih kecil juga ada.
6.
Pemakaian obat-obat
mahal padahal alternatif yang lebih
murah dengan
kemanfaatan dan keamanan yang sama tersedia.
7.
Tidak memberikan pengobatan yang sudah diketahui dan diterima kemanfaatannya
dan
keamanannya (established efficacy and safety).
4.
Memberikan pengobatan dengan obat-obat yang kemanfaatan dan
keamanannya
masih
diragukan.
8.
Pemakaian obat yang semata-mata didasarkan
pada pengalaman individual tanpa mengacu kepada sumber-sumber informasi ilmiah yang layak, atau hanya
didasarkan pada
sumber-sumber informasi yang tidak dapat dipastikan kebenarannya.
9.
Pemakaian obat yang didasarkan pada instink dan intuisi tanpa melihat
fakta dan kebenaran ilmiah
yang lazim. Ini misalnya terlihat pada dokter-dokter yang meng- klaim
mempunyai cara-cara inkonvensional
dalam pengobatan.
Masih banyak lagi ciri pemakaian obat yang tidak rasional yang tidak kesemuanya dapat
diuraikan di sini. Ini sedikit banyak akan tergantung pada definisi dan kriteria serta siapa yang menilai ketidakrasionalan tersebut. Masing-masing ciri yang digambarkan di atas tidak berdiri satu-satu secara sendiri-sendiri, tetapi akan saling terkait satu sama lain. Sebagai contoh, di Indonesia sebagian besar (+ 70%) dari pasien-pasien yang datang ke
Puskesmas mendapatkan suntikan (Ministry
of
Health,
1988)
walau
tidak jelas
indikasi medik
pemberian suntikan tersebut.
Bila disimak lebih lanjut
tingginya
pemakaian suntikan tersebut, bukan hanya indikasinya saja yang secara medik tidak jelas, tetapi juga memenuhi
ciri-ciri ketidakrasionalan yang lain seperti diuraikan di atas.
Bentuk-bentuk ketidak-rasionalan pemakaian obat juga dapat dikelompokkan seperti
berikut (MSH, 1984),
1.
Peresepan
boros (extravagant), yakni peresepan dengan obat-obat yang lebih mahal padahal ada alternative yang lebih murah dengan manfaat dan keamanan yang sama. Termasuk di sini
mestinya adalah peresepan yang terlalu berorientasi
ke pengobatan simtomatik sampai
mengurangi alokasi obat-obat yang lebih vital.
Misalnya pemakaian obat-obat antidiare yang berlebihan dapat menurunkan alokasi
untuk oralit yang notabene lebih
vital untuk menurunkan mortalitas.
2.
Peresepan berlebihan (over prescribing), terjadi bila dosis obat, lama pemberian atau
jumlah obat yang diresepkan melebihi ketentuan. Juga
peresepan dengan obat-
obat yang sebenarnya tidak diperlukan dapat dikategorikan dalam bentuk ketidak- rasionalan ini
3. Peresepan yang salah
(incorrect prescribing), mencakup pemakaian
obat untuk
indikasi yang keliru, diagnosis tepat tetapi obatnya keliru, pemberian obat
ke pasien
salah. Juga pemakaian obat tanpa memperhitungkan
kondisi lain yang diderita
bersamaan.
4.
Peresepan
majemuk (multiple
prescribing), yakni pemakaian
dua
atau lebih kombinasi obat padahal sebenarnya cukup hanya diberikan obat
tunggal saja. Termasuk di sini adalah pengobatan terhadap semua gejala yang mungkin tanpa mengarah
ke
penyakit
utamanya. Sebagai contoh, di Puskesmas pasien yang datang rata-rata akan menerima obat + 4 jenis per episode kunjungan.
5. Peresepan kurang (under prescribing) terjadi
kalau obat yang diperlukan
tidak diresepkan, dosis tidak cukup
atau lama pemberian terlalu pendek.
Bentuk-bentuk ketidakrasionalan dalam praktek banyak dijumpai, dan
mungkin jarang terlintas di pikiran kita kalau tidak ditelaah secara dalam apakah
suatu pola peresepan
tertentu sudah optimal atau belum.
Walaupun mungkin ada keragaman antar berbagai
daerah pelayanan, tetapi
umumnya bentuk-bentuk ketidakrasionalan pemakaian obat menunjukkan pola
yang mungkin serupa. Beberapa contoh
yang sering dijumpai, misalnya:
- Pemakaian antibiotika dan bukannya oralit pada kasus-kasus diare akut.
- Pemakaian antibiotika untuk infeksi-infeksi saluran
nafas akut yang non-bakterial
(ISPA ringan)
- Pemakaian suntikan tanpa indikasi jelas padahal pemakaian obat secara oral juga
dimungkinkan.
- Pemakaian berbagai tonikum dan multivitamin
tanpa indikasi medik yang tepat.
- Pemberian obat secara
berondongan (shotgun) dengan berbagai macam obat tanpa dasar
jelas.
- Pemakaian hormon untuk perangsang nafsu makan dan
pertumbuhan
pada
anak,
- Pemakaian steroid secara sembarangan untuk terapi
simtomatik berbagai kondisi,
- Pemakaian profilaksi antibiotika untuk semua tindakan bedah tanpa indikasi yang jelas,
- Pemakaian antibiotika profilaksi pada kondisi malnutrisi.
Masih banyak lagi contoh-contoh ketidakrasionalan pemakaian obat yang sering dilihat dalam praktek,
tetapi kesemuanya
sesuai dengan ciri-ciri yang digambarkan
di muka.
Faktor Penyebab
Faktor-faktor
penyebab
atau pendorong
terjadinya
praktek
peresepan yang tidak
rasional sangat kompleks dan beragam. Berbagai faktor saling terkait satu sama lain
dan tidak bekerja secara sendiri-sendiri. Walaupun tidak jelas faktor yang dominan tetapi secara umum maka hal-hal berikut merupakan penyebab atau pendorong terjadinya praktek-praktek peresepan yang tidak rasional,
· Kelemahan dalam bekal pengetahuan dan ketrampilan mengenai pemakaian obat
(terapetika) baik
yang
didapat selama pendidikan (pre-service)
atau kekurangan penyegaran-penyegaran
sesudah menjalankan praktek (in service). Termasuk di sini adalah kekurangan informasi mengenai obat
dan
terapetika.
· Aktivitas promosi
yang berlebihan dari industri farmasi, apalagi kalau disertai dengan
ikatan-ikatan tertentu dengan para penulis resep (prescribing).
· Rasa ketidak-amanan (insecurity) dan ketidakpastian diagnostik ataupun prognostik.
Karena
takut kalau diagnosis infeksi
tidak
tepat,
maka
langsung
diberondong
dengan
berbagai
jenis antibiotika. Karena takut
kalau penyakit, walaupun ringan saja
(misalnya
infeksi) berkembang ke komplikasi yang
berat, langsung diberi antibiotika.
· Rasa
gengsi yang tidak tepat dari penulis resep, misalnya agar tidak dianggap
ketinggalan jaman
selalu membuat resep dengan
obat
yang terbaru tanpa pertimbangan jauh.
· Sistim suplai
obat yang tidak efisien.
· Beban pelayanan pasien yang terlalu banyak sehingga setiap pasien tidak sempat
ditangani secara optimal.
· Ketiadaan buku pedoman
pengobatan di
unit-unit pelayanan.
· Tekanan dan permintaan dari pasien, terutama bila dokter ingin menuruti semua
keinginan
pasien akan obat tanpa dipilih
mana yang
tepat dan yang tidak tepat.
· Generalisasi secara keliru pengalaman-pengalaman individual yang belum dianalisis secara tepat
misalnya, ada alasan pemakaian tetrasiklin pada diare akut
seperti ini:
"...saya selalu memberikan
tetrasiklin untuk pasien diare akut, karena menurut pengalaman kalau diberi tetrasiklin
selalu sembuh..."
· Anggapan-anggapan atau kepercayaan yang keliru tentang manfaat obat, misalnya: "...karena populasi
kita lebih banyak malnutrisi, maka perlu lebih banyak antibiotika profilaksis pada keadaan gangguan-gangguan ringan seperti
influenza...."
· Ketidak-mampuan menelaah setiap informasi secara kritik analitik (critical appraisal),
sehingga setiap jenis informasi
gampang sekali mempengaruhi pola kebiasaan
peresepan.
Kriteria Kerasionalan
Suatu pengobatan dikatakan rasional bila memenuhi beberapa kriteria tertentu. Kriteria ini mungkin
akan bervariasi tergantung interpretasi masing-masing, tetapi paling tidak
akan
mencakup hal-hal berikut:
- ketepatan indikasi
- ketepatan pemilihan obat
- ketepatan cara
pemakaian dan
dosis obat
- ketepatan penilaian terhadap kondisi
pasien/dan tindak lanjut efek pengobatan.
Indikasi
pemakaian obat
secara
khusus
adalah
indikasi medik
di
mana
intervensi dengan obat
(farmakoterapi) memang diperlukan dan
telah
diketahui memberikan manfaat terapetik. Pada banyak keadaan, ketidak-rasionalan pemakaian obat terjadi
oleh karena keperluan intervensi farmakoterapi dan kemanfaatannya tidak jelas. Pertanyaan
yang
harus dijawab
dalam kriteria
indikasi ini
adalah
"Apakah
obat
diperlukan?". Kalau ya, efek klinik apa yang paling berperan terhadap manfaat terapetik. Hal ini akan menentukan evaluasi terhadap hasil terapi. Pemilihan jenis obat harus
memenuhi beberapa segi
pertimbangan, yakni:
· Kemanfaatan dan keamanan obat sudah terbukti secara pasti.
· Risiko dari pengobatan dipilih yang paling kecil untuk pasien dan imbang dengan manfaat yang
akan
diperoleh.
· Biaya obat
paling sesuai untuk
alternatif-alternatif obat dengan manfaat dan
keamanan yang sama dan paling terjangkau oleh
pasien (affordable).
· Jenis obat yang paling mudah didapat (available).
· Cara pemakaian paling cocok dan paling mudah diikuti
pasien.
· Sedikit mungkin kombinasi
obat atau jumlah jenis obat.
Banyak ketidakrasionalan bersumber pada pemilihan obat-obat dengan
manfaat dan
keamanan
yang samar-samar atau obat-obat yang
mahal pada
alternatif yang sama dengan harga lebih
murah
juga tersedia.
Cara pemakaian
obat memerlukan pertimbangan farmakokinetika, yakni: cara
pemberian, besar dosis, frekuensi pemberian dan lama pemberian, sampai ke pemilihan cara
pemakaian yang paling mudah diikuti oleh pasien dan paling aman serta efektif untuk pasien. Apakah pasien benar-benar
memerlukan suntikan? Oleh karena
sebagian besar pemberian suntikan yang terjadi umumnya tidak ada indikasi secara jelas, sering
tidak memberikan kelebihan manfaat dibandingkan alternatif pemberian lain, lebih besar dibanding per oral. Juga perlu dipertimbangkan di sini adalah kemungkinan terjadinya
interaksi bila
diberikan obat lebih dari
satu.
Ketepatan
pasien
serta
penilaiannya mencakup
pertimbangan apakah
ada kontraindikasi atau adakah kondisi-kondisi khusus yang memerlukan penyesuaian dosis
secara individual. Apakah ada keadaan yang merupakan faktor konsitusi terjadinya efek samping obat pada penderita. Jika
kemudian terjadi efek samping tertentu, bagaimana menentukan dan menanganinya.
Penutup
Kejadian
ketidak-optimalan pengobatan
misalnya dalam bentuk ketidak-rasionalan
pengobatan, selalu merupakan konsekuensi dari pengobatan itu sendiri. Namun
demikian, dengan
mengetahui bentuk-bentuk yang terjadi, faktor-faktor pendorong yang mungkin berperan dan
intervensi-intervensi
yang
paling efektif, kejadian ketidakrasionalan pemakaian obat dapat ditekan
seminimal mungkin. Sehingga dampak negatifnya
dalam pelayanan juga dapat
diusahakan sekecil mungkin.
Kepustakaan
H.V. HOGERZEIL, BIMO, D. ROSS-DEGNAN, R.O. LAING, D. OFORI-ADJEI, B. SANTOSO, A.K.
AZAD CHOWDHURY, A.M. DAS, K.K. KAFLE, A.F.B. MABADEJE & A.Y. MASSELE (1993) Field test for rational drug use in twelve developing countries. The
Lancet, December
4, 1993, pp:1408-1410.
LEVY BS (1982) Microbial resistance to antibiotics. An evolving and persistent problem. In: Anonymous (ed). Good Antimicrobial Prescribing. A Lancet review, pp 4-19. Lancet
Ltd., London.
MANAGEMENT SCIENCES FOR HEALTH (1984) Managing Drug Supply, 1st ed. Management
Sciences for Health, Boston.
MINISTRY
OF HEALTH, YAYASAN INDONESIA SEJAHTERA & MANAGEMENT SCIENCES FOR
HEALTH (1988)
Where Does the Tetracycline Go? Child Survival Pharmaceutical
in
Indonesia Report
part II.
VANCE MA & MILLINGTON WR (1986) Principle of irrational drug therapy. International
Journal of Health Sciences 16(3): 355-61
WORLD HEALTH ORGANIZATION (1993)
How to Investigate Drug Use in Health Facilities.
WHO, Geneva.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar