BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Anemia (dalam bahasa Yunani:
Tanpa darah) adalah keadaan saat jumlah sel darah merah
atau jumlah hemoglobin
(protein
pembawa oksigen)
dalam sel darah merah berada di bawah normal.
Sel darah merah mengandung
hemoglobin yang memungkinkan mereka mengangkut oksigen dari paru-paru,
dan mengantarkannya ke seluruh bagian tubuh.
Anemia menyebabkan
berkurangnya jumlah sel darah merah atau jumlah hemoglobin dalam sel darah
merah, sehingga darah
tidak dapat mengangkut oksigen dalam jumlah sesuai yang diperlukan tubuh .
Anemia adalah pengurangan jumlah sel darah
merah, kuantitas hemoglobin, dan volume pada sel darah merah (hematokrit) per
100 ml darah. Dengan demikian, anemia bukan suatu diagnosis melainkan
pencerminan dari dasar perubahan patofisiologis, yang diuraikan oleh anamnesa
dan pemikiran fisik yang teliti, serta asi didukung oleh pemeriksaan
laboratorium.
B.
Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang dibahas dalam
makalah ini adalah :
- Apa itu anemia.
- Bagaimana manifestasi klinik anemia.
- Apa penyebab anemia.
- Bagaimana diagnosis dan gejala anemia.
- Apa saja klasifikasi anemia.
C.
Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk meningkatkan pemahaman tentang
anemia, berikuit adalah rinciannya>
1. Mengetahui apa itu anemia.
2. Mengetahui manifestasi klinik
3. Mengetahui diagnosisi dan
gejala anemia.
4. Mengetahui apa saja
klasifikasi anemia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Anemia
Menurut definisi, anemia
adalah pengurangan jumlah sel darah merah, kuantitas hemoglobin, dan volume
pada sel darah merah (hematokrit) per 100 ml darah. Dengan demikian, anemia
bukan suatu diagnosis melainkan pencerminan dari dasar perubahan
patofisiologis, yang diuraikan oleh anamnesa dan pemikiran fisik yang teliti, serta
asi didukung oleh pemeriksaan laboratorium.
B.
Manifestasi Klinik Anemia
Pada anemia, karena semua sistem organ dapat terlibat, maka dapat
menimbulkan manifestasi klinik yang luas. Manifestasi ini bergantung pada:
1. kecepatan timbulnya anemia
2.
umur individu
3.
mekanisme kompensasinya
4.
tingkat aktivitasnya
5.
keadaan penyakit yang mendasari, dan
6.
parahnya anemia tersebut.
Karena jumlah efektif sel darah merah berkurang, maka lebih sedikit O2 yang dikirimkan ke jaringan.
Kehilangan darah yang mendadak (30% atau lebih), seperti pada perdarahan,
menimbulkan simtomatoogi sekunder hipovolemia dan hipoksemia. Namun pengurangan
hebat massa sel darah merah dalam waktu beberapa bulan (walaupun pengurangannya
50%) memungkinkan mekanisme kompensasi tubuh untuk menyesuaikan diri, dan
biasanya penderita asimtomatik, kecuali pada kerja jasmani berat.
Mekanisme kompensasi bekerja
melalui:
1.
peningkatan curah
jantung dan pernafasan, karena itu menambah pengiriman O2 ke
jaringan-jaringan oleh sel darah merah
2.
meningkatkan pelepasan
O2 oleh hemoglobin
3.
mengembangkan volume
plasma dengan menarik cairan dari sela-sela jaringan, dan
4.
redistribusi aliran darah ke organ-organ vital
(deGruchy, 1978 ).
C.
Etiologi Anemia
- Karena Cacat Sel Darah Merah (SDM)
Sel darah merah mempunyai komponen penyusun yang banyak sekali. Tiap-tiap
komponen ini bila mengalami cacat atau kelainan, akan menimbulkan masalah bagi
SDM sendiri, sehingga sel ini tidak berfungsi sebagai mana mestinya dan dengan
cepat mengalami penuaan dan segera dihancurkan. Pada umumnya cacat yang dialami
SDM menyangkut senyawa-senyawa protein yang menyusunnya. Oleh karena kelainan
ini menyangkut protein, sedangkan sintesis protein dikendalikan oleh gen di
DNA.
- Karena Kekurangan Zat Gizi
Anemia jenis ini merupakan salah satu anemia yang disebabkan oleh faktor luar tubuh, yaitu kekurangan salah
satu zat gizi. Anemia karena kelainan dalam SDM disebabkan oleh faktor konstitutif yang
menyusun sel tersebut. Anemia jenis ini tidak dapat diobati, yang dapat
dilakukan adalah hanya memperpanjang usia SDM sehingga mendekati umur yang seharusnya,
mengurangi beratnya gejala atau bahkan hanya mengurangi penyulit yang terjadi.
- Karena Perdarahan
Kehilangan darah dalam jumlah besar tentu saja akan menyebabkan kurangnya
jumlah SDM dalam darah, sehingga terjadi anemia. Anemia karena perdarahan besar
dan dalam waktu singkat ini secara nisbi
jarang terjadi. Keadaan ini biasanya terjadi karena kecelakaan dan bahaya yang
diakibatkannya langsung disadari. Akibatnya, segala usaha akan dilakukan untuk
mencegah perdarahan dan kalau mungkin mengembalikan jumlah darah ke keadaan
semula, misalnya dengan tranfusi.
- Karena Otoimun
Dalam keadaan tertentu, sistem imun tubuh dapat mengenali dan menghancurkan
bagian-bagian tubuh yang biasanya tidak dihancurkan. Keadaan ini sebanarnya
tidak seharusnya terjadi dalam jumlah besar. Bila hal tersebut terjadi terhadap
SDM, umur SDM akan memendek karena dengan cepat dihancurkan oleh sistem imun.
Penyebab
umum dari anemia:
- Perdarahan hebat
- Akut (mendadak)
- Kecelakaan
- Pembedahan
- Persalinan
- Pecah pembuluh darah
- Kronik (menahun)
- Perdarahan hidung
- Wasir (hemoroid)
- Perdarahan menstruasi yang sangat banyak
Berkurangnya
pembentukan sel darah merah
- Kekurangan zat besi
- Kekurangan vitamin B12
- Kekurangan asam folat
- Kekurangan vitamin C
- Penyakit kronik
- Meningkatnya penghancuran sel darah merah
- Pembesaran limpa
- Kerusakan mekanik pada sel darah merah
- Reaksi autoimun terhadap sel darah merah:
- Hemoglobinuria nokturnal paroksismal
- Sferositosis herediter
- Elliptositosis herediter
- Kekurangan G6PD
- Penyakit sel sabit
- Penyakit hemoglobin C
- Penyakit hemoglobin S-C
- Penyakit hemoglobin E
- Thalasemia
D.
Diagnosis (gejala atau tanda-tanda)
Pemeriksaan darah sederhana
bisa menentukan adanya anemia. Persentase sel darah merah dalam volume darah
total (hematokrit) dan jumlah
hemoglobin dalam suatu contoh darah bisa ditentukan. Pemeriksaan tersebut
merupakan bagian dari hitung jenis darah komplit (CBC).
Tanda-tanda yang
paling sering dikaitkan dengan anemia
adalah:
1. kelelahan, lemah, pucat, dan
kurang bergairah
2. sakit kepala, dan mudah marah
3. tidak mampu berkonsentrasi, dan rentan terhadap infeksi
4. pada anemia yang kronis menunjukkan bentuk kuku seperti
sendok dan rapuh, pecah-pecah pada sudut mulut, lidah lunak dan sulit menelan.
Karena faktor-faktor seperti
pigmentasi kulit, suhu dan kedalaman serta distribusi kapiler mempengaruhi
warna kulit, maka warna kulit bukan merupakan indeks pucat yang dapat
diandalkan. Warna kuku, telapak tangan, dan membran mukosa mulut serta
konjungtiva dapat digunakan lebih baik guna menilai kepucatan.
Takikardia dan bising
jantung (suara yang disebabkan oleh kecepatan aliran darah yang meningkat)
menggambarkan beban kerja dan curah jantung yang meningkat. Angina (sakit dada), khususnya
pada penderita yang tua dengan stenosis koroner, dapat diakibatkan karena
iskemia miokardium. Pada anemia berat, dapat menimbulkan payah jantung kongesif
sebab otot jantung yang kekurangan oksigen tidak dapat menyesuaikan diri dengan
beban kerja jantung yang meningkat. Dispnea (kesulitan bernafas), nafas pendek,
dan cepat lelah waktu melakukan aktivitas jasmani merupakan manifestasi berkurangnya
pengiriman O2. Sakit kepala, pusing, kelemahan dan tinnitus (telinga berdengung)
dapat menggambarkan berkurangnya oksigenasi pada susunan saraf pusat. Pada
anemia yang berat dapat juga timbul gejala saluran cerna yang umumnya berhubungan
dengan keadaan defisiensi. Gejala-gejala ini adalah anoreksia, nausea,
konstipasi atau diare dan stomatitis (sariawan lidah dan mulut).
E.
Klasifikasi Anemia
Pada klasifikasi anemia menurut morfologi, mikro dan makro menunjukkan
ukuran sel darah merah sedangkan kromik menunjukkan warnanya. Sudah dikenal
tiga klasifikasi besar.
Yang pertama adalah anemia normositik normokrom. Dimana ukuran dan bentuk
sel-sel darah merah normal serta mengandung hemoglobin dalam jumlah yang normal
tetapi individu menderita anemia. Penyebab anemia jenis ini adalah kehilangan
darah akut, hemolisis, penyakit kronik termasuk infeksi, gangguan endokrin,
gangguan ginjal, kegagalan sumsum, dan penyakit-penyakit infiltratif metastatik
pada sumsum tulang.
Kategori besar yang kedua adalah anemia makrositik normokrom. Makrositik
berarti ukuran sel-sel darah merah lebih besar dari normal tetapi normokrom
karena konsentrasi hemoglobinnya normal. Hal ini diakibatkan oleh gangguan atau
terhentinya sintesis asam nukleat DNA seperti yang ditemukan pada defisiensi
B12 dan atau asam folat. Ini dapat juga terjadi pada kemoterapi kanker, sebab
agen-agen yang digunakan mengganggu metabolisme sel.
Kategori anemia ke tiga adalah anemia mikrositik hipokrom. Mikrositik
berarti kecil, hipokrom berarti mengandung hemoglobin dalam jumlah yang kurang
dari normal. Hal ini umumnya menggambarkan insufisiensi sintesis hem (besi),
seperti pada anemia defisiensi besi, keadaan sideroblastik dan kehilangan darah
kronik, atau gangguan sintesis globin, seperti pada talasemia (penyakit
hemoglobin abnormal kongenital).
Anemia dapat juga diklasifikasikan
menurut etiologinya. Penyebab utama yang dipikirkan adalah:
1. meningkatnya kehilangan sel
darah merah dan
2. penurunan atau gangguan
pembentukan sel.
Meningkatnya kehilangan sel darah merah dapat disebabkan oleh perdarahan
atau oleh penghancuran sel. Perdarahan dapat disebabkan oleh trauma atau tukak,
atau akibat pardarahan kronik karena polip pada kolon, penyakit-penyakit
keganasan, hemoriod atau menstruasi. Penghancuran sel darah merah dalam
sirkulasi, dikenal dengan nama hemolisis, terjadi bila gangguan pada sel darah
merah itu sendiri yang memperpendek hidupnya atau karena perubahan lingkungan
yang mengakibatkan penghancuran sel darah merah. Keadaan dimana sel darah merah
itu sendiri terganggu adalah:
1. hemoglobinopati, yaitu
hemoglobin abnormal yang diturunkan, misal nya anemia sel sabit
2.
gangguan sintetis globin misalnya talasemia
3.
gangguan membran sel darah merah misalnya
sferositosis herediter
4.
defisiensi enzim misalnya defisiensi G6PD (glukosa
6-fosfat dehidrogenase).
Yang disebut diatas adalah gangguan herediter. Namun, hemolisis dapat
juga disebabkan oleh gangguan lingkungan sel darah merah yang seringkali
memerlukan respon imun. Respon isoimun mengenai berbagai individu dalam spesies
yang sama dan diakibatkan oleh tranfusi darah yang tidak cocok. Respon otoimun terdiri dari pembentukan
antibodi terhadap sel-sel darah merah itu sendiri. Keadaan yang di namakan
anemia hemolitik otoimun dapat timbul tanpa sebab yang diketahui setelah
pemberian suatu obat tertentu seperti alfa-metildopa, kinin, sulfonamida,
L-dopa atau pada penyakit-penyakit seperti limfoma, leukemia limfositik kronik,
lupus eritematosus, artritis reumatorid dan infeksi virus. Anemia hemolitik otoimun selanjutnya
diklasifikasikan menurut suhu dimana antibodi bereaksi dengan sel-sel darah
merah –antibodi tipe panas atau antibodi tipe dingin.
Malaria adalah penyakit
parasit yang ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk anopheles betina yang
terinfeksi. Penyakit ini akan menimbulkan anemia hemolitik berat ketika sel
darah merah diinfestasi oleh parasit plasmodium, pada keadaan ini terjadi
kerusakan pada sel darah merah, dimana permukaan sel darah merah tidak teratur.
Sel darah merah
yang terkena akan segera dikeluarkan dari peredaran darah oleh limpa(Beutler,
1983)
Hipersplenisme (pembesaran limpa, pansitopenia, dan sumsum tulang
hiperselular atau normal) dapat juga menyebabkan hemolisis akibat penjeratan
dan penghancuran sel darah merah. Luka bakar yang berat khususnya jika kapiler
pecah dapat juga mengakibatkan hemolisis.
Klasifikasi etiologi utama yang kedua adalah pembentukan sel darah merah
yang berkurang atau terganggu
(diseritropoiesis). Setiap keadaan yang mempengaruhi fungsi sumsum tulang dimasukkan
dalam kategori ini. Yang termasuk dalam
kelompok ini adalah:
1. keganasan yang tersebar seperti kanker payudara, leukimia
dan multipel mieloma; obat dan zat kimia toksik; dan penyinaran dengan radiasi
dan
2. penyakit-penyakit menahun yang melibatkan ginjal dan hati,
penyakit-penyakit infeksi dan defiensi endokrin.
Kekurangan vitamin penting
seperti vitamin B12, asam folat, vitamin C dan besi dapat mengakibatkan
pembentukan sel darah merah tidak efektif sehingga menimbulkan anemia. Untuk menegakkan diagnosis
anemia harus digabungkan pertimbangan morfologis dan etiologi.
1.
Anemia aplastik
Anemia aplastik adalah suatu gangguan pada sel-sel induk disumsum tulang
yang dapat menimbulkan kematian, pada keadaan ini jumlah sel-sel darah yang
dihasilkan tidak memadai. Penderita mengalami pansitopenia yaitu
kekurangan sel darah merah, sel darah
putih dan trombosit. Secara morfologis sel-sel darah
merah terlihat normositik dan normokrom, hitung retikulosit rendah atau hilang
dan biopsi sumsum tulang menunjukkan suatu keadaan yang disebut “pungsi kering”
dengan hipoplasia yang nyata dan terjadi pergantian dengan jaringan lemak.
Langkah-langkah pengobatan terdiri dari mengidentifikasi dan menghilangkan agen
penyebab. Namun pada beberapa keadaan tidak dapat ditemukan agen penyebabnya
dan keadaan ini disebut idiopatik. Beberapa keadaan seperti ini diduga
merupakan keadaan imunologis.
Kompleks gejala anemia aplastik berkaitan dengan pansitopenia. Gejala-gejala
lain yang berkaitan dengan anemia adalah defisiensi trombosit dan sel darah
putih. Defisiensi trombosit dapat mengakibatkan:
1. ekimosis dan ptekie
(perdarahan dalam kulit)
2. epistaksis (perdarahan hidung)
3. perdarahan saluran cerna
4. perdarahan saluran kemih
5. perdarahan susunan saraf
pusat.
Defisiensi sel darah putih mengakibatkan lebih mudahnya terkena infeksi. Aplasia berat disertai pengurangan
atau tidak adanya retikulosit jumlah granulosit yang kurang dari 500/mm3 dan
jumlah trombosit yang kurang dari 20.000 dapat mengakibatkan kematian dan
infeksi dan/atau perdarahan dalam beberapa minggu atau beberapa bulan. Namun penderita yang lebih ringan dapat hidup bertahun-
tahun. Pengobatan terutama dipusatkan pada perawatan suportif sampai terjadi
penyembuhan sumsum tulang. Karena infeksi dan perdarahan yang disebabkan oleh
defisiensi sel lain merupakan penyebab utama kematian maka penting untuk
mencegah perdarahan dan infeksi.
Tindakan pencegahan dapat
mencakup lingkungan yang dilindungi (ruangan dengan aliran udara yang mendatar
atau tempat yang nyaman) dan higiene yang baik. Pada pendarahan dan/atau
infeksi perlu dilakukan terapi komponen darah yang bijaksana, yaitu sel darah
merah, granulosit dan trombosit dan antibiotik. Agen-agen perangsang sumsum tulang
seperti androgen diduga menimbulkan eritropoiesis, tetapi efisiensinya tidak
menentu. Penderita anemia aplastik kronik dipertahankan pada hemoglobin (Hb) antara
8 dan 9 g dengan tranfusi darah yang periodik.
Penderita anemia aplastik berusia muda yang terjadi secara sekunder akibat
kerusakan sel induk memberi respon yang baik terhadap tranplantasi sumsum
tulang dari donor yang cocok (saudara kandung dengan antigen leukosit manusia
[HLA] yang cocok). Pada kasus-kasus yang
dianggap terjadi reaksi imunologis maka digunakan globulin antitimosit (ATG)
yang mengandung antibodi untuk melawan sel T manusia untuk mendapatkan remisi
sebagian. Terapi semacam ini dianjurkan untuk penderita yang agak tua atau
untuk penderita yang tidak mempunyai saudara kandung yang cocok.
2.
Anemia defisiensi besi
Anemia defisiensi besi secara morfologis diklasifikasikan sebagai anemia
mikrositik hipokrom disertai penurunan kuantitatif pada sintetis hemoglobin.
Defisiensi besi merupakan penyebab utama anemia di dunia. Khususnya terjadi
pada wanita usia subur, sekunder karena kehilangan darah sewaktu menstruasi dan
peningkatan kebutuhan besi selama hamil.
Penyebab lain defisiensi besi adalah: asupan besi yang tidak cukup misalnya pada bayi yang
diberi makan susu belaka
sampai usia antara 12-24 bulan dan pada
individu tertentu yang hanya memakan sayur- sayuran saja;
1. gangguan absorpsi seperti
setelah gastrektomi dan
2. kehilangan darah yang menetap
seperti pada perdarahan saluran cerna yang lambat karena polip, neoplasma,
gastritis varises esophagus, makan aspirin dan hemoroid.
Dalam keadaan normal tubuh orang dewasa rata-rata mengandung 3 sampai 5 g
besi, bergantung pada jenis kelamin dan besar tubuhnya. Hampir dua pertiga besi
terdapat dalam hemoglobin yang dilepas pada proses penuaan serta kematian sel
dan diangkut melalui transferin plasma ke sumsum tulang untuk eritropoiesis.
Dengan kekecualian dalam jumlah yang kecil dalam mioglobin (otot) dan dalam
enzim-enzim hem, sepertiga sisanya disimpan
dalam hati, limpa dan dalam sumsum tulang sebagai feritin dan sebagai
hemosiderin untuk kebutuhan-kebutuhan lebih lanjut.
Walaupun dalam diet
rata-rata terdapat 10 - 20 mg besi, hanya sampai 5% - 10% (1 - 2 mg) yang
sebenarnya sampai diabsorpsi. Pada persediaan besi berkurang maka besi dari diet tersebut
diserap lebih banyak. Besi yang dimakan diubah menjadi besi fero dalam lambung
dan duodenum; penyerapan besi terjadi pada duodenum dan jejunum proksimal.
Kemudian besi diangkut oleh transferin plasma ke sumsum tulang untuk sintesis
hemoglobin atau ke tempat penyimpanan di jaringan.
Setiap milliliter darah mengandung 0,5 mg besi. Kehilangan besi umumnya
sedikit sekali, dari 0,5 sampai 1 mg/hari. Namun wanita yang mengalami
menstruasi kehilangan tambahan 15 sampai 28 mg/bulan. Walaupun kehilangan darah
karena menstruasi berhenti selama hamil, kebutuhan besi harian tetap meningkat,
hal ini terjadi oleh karena volume darah ibu selama hamil meningkat,
pembentukan plasenta, tali pusat dan fetus, serta mengimbangi darah yang hilang
pada waktu melahirkan.
Selain tanda dan gejala yang ditunjukkan oleh anemia, penderita defisiensi
besi yang berat (besi plasma lebih kecil dari 40 mg/ 100 ml;Hb 6 sampai 7 g/100
ml)mempunyai rambut yang rapuh dan halus serta kuku tipis, rata, mudah patah
dan sebenarnya berbentuk seperti sendok (koilonikia). Selain itu atropi papilla
lidah mengakibatkan lidah tampak pucat, licin, mengkilat, merah daging, dan
meradang dan sakit. Dapat juga timbul stomatitis angularis, pecah-pecah dengan
kemerahan dan rasa sakit di sudut-sudut mulut.
Pemeriksaan darah menunjukkan jumlah sel darah merah normal atau hampir
normal dan kadar hemoglobin berkurang. Pada sediaan hapus darah perifer,
eritrosit mikrositik dan hipokrom disertain poikilositosis dan aniositosis.
Jumlah retikulosit mungkin normal atau berkurang. Kadar besi berkurang walaupun
kapasitas meningkat besi serum meningkat.
Pengobatan defisiensi besi mengharuskan identifikasi dan menemukan
penyebab dasar anemia. Pembedahan mungkin diperlukan untuk menghambat
perdarahan aktif yang diakibatkan oleh polip,
tukak, keganasan dan hemoroid; perubahan diet mungkin diperlukan untuk bayi
yang hanya diberi makan susu atau individu dengan idiosinkrasi makanan atau
yang menggunakan aspirin dalam dosis besar. Walaupun
modifikasi diet dapat menambah besi yang tersedia (misalnya hati, masih
dibutuhkan suplemen besi untuk meningkatkan hemoglobin dan mengembalikan
persediaan besi. Besi tersedia dalam bentuk parenteral dan oral. Sebagian
penderita memberi respon yang baik terhadap senyawa-senyawa oral seperti
ferosulfat. Preparat besi parenteral digunakan secara sangat selektif, sebab
harganya mahal dan mempunyai insidens besar terjadi reaksi yang merugikan.
3.
Anemia megaloblastik
Anemia megaloblastik
diklasifikasikan menurut morfologinya sebagai anemia makrositik normokrom.
Anemia megaloblastik sering
disebabkan oleh defisiensi vitamin B12 dan asam folat yang mengakibatkan
sintesis DNA terganggu. Defisiensi ini mungkin sekunder karena malnutrisi,
malabsorpsi, kekurangan faktor intrinsik (seperti terlihat pada anemia pernisiosa dan
postgastrekomi) infestasi parasit, penyakit usus dan keganasan, serta agen
kemoterapeutik. Individu dengan infeksi cacing pita (dengan Diphyllobothrium latum) akibat makan
ikan segar yang terinfeksi, cacing pita berkompetisi dengan hospes dalam
mendapatkan vitamin B12 dari makanan, yang mengakibatkan anemia megaloblastik
(Beck, 1983).
Walaupun anemia pernisiosa
merupakan prototip dari anemia megaloblastik defisiensi folat lebih sering
ditemukan dalam praktek klinik. Anemia megaloblastik sering kali terlihat pada
orang tua dengan malnutrisi, pecandu alkoholatau pada remaja dan pada kehamilan
dimana terjadi peningkatan kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan fetus dan
laktasi. Kebutuhan ini juga meningkat pada anemia hemolitik, keganasan dan
hipertiroidisme. Penyakit celiac dan sariawan tropik juga menyebabkan malabsorpsi
dan penggunaan obat-obat yang bekerja sebagai antagonis asam folat juga
mempengaruhi.
Kebutuhan minimal folat
setiap hari kira-kira 50 mg mudah diperoleh dari diet rata-rata. Sumber yang
paling melimpah adalah daging merah (misalnya hati dan ginjal) dan sayuran
berdaun hijau yang segar. Tetapi cara menyiapkan makanan yang benar juga
diperlukan untuk menjamin jumlah gizi yang adekuat. Misalnya 50% sampai 90% folat
dapat hilang pada cara memasak yang memakai banyak air. Folat diabsorpsi dari
duodenum dan jejunum bagian atas, terikat pada protein plasma secara lemah dan
disimpan dalam hati. Tanpa adanya asupan
folat persediaan folat biasanya akan habis kira-kira dalam waktu 4 bulan. Selain
gejala-gejala anemia yang sudah dijelaskan penderita anemia megaloblastik
sekunder karena defisiensi folat dapat tampak seperti malnutrisi dan mengalami
glositis berat (radang lidah disertai rasa sakit), diare dan kehilangan nafsu
makan. Kadar folat serum juga menurun (<4 mg/ml).
Pengobatan anemia pada penderita anemia megaloblastik.
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya pengobatan bergantung pada
identifikasi dan menghilangkan penyebab dasarnya. Tindakan ini adalah
memperbaiki defisiensi diet dan terapi pengganti dengan asam folat atau dengan
vitamin B12. penderita kecanduan alkohol yang dirawat di rumah sakit sering
memberi respon “spontan” bila di berikan diet seimbang.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Anemia adalah pengurangan jumlah sel darah
merah, kuantitas hemoglobin, dan volume pada sel darah merah (hematokrit) per
100 ml darah.
Pada anemia, karena semua sistem organ dapat terlibat, maka dapat
menimbulkan manifestasi klinik yang luas. Manifestasi ini bergantung pada:
1. kecepatan timbulnya anemia
2. umur individu
3. mekanisme kompensasinya
4. tingkat aktivitasnya
5. keadaan penyakit yang
mendasari, dan
6. parahnya anemia tersebut.
B.
Saran
\ Salah
satu penyebab anemia adalah asupan gizi, oleh kerena itu saran yang dapat kami
berikan adlaah perhatikan makanan anda, perbanyak konsumsi makanan yang
mengandung zat besi untuk mencegah anemia.
Makalah
ini masih jauh dari keempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran sangat kami
harapkan untuk perbaikan penyusunan selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Sadikin Muhamad, 2002, Biokimia Darah, widia medika, jakarta
4. Sylvia
A. Price Lorraine M. Wilson, 2002, Patofisiologi, Jilid1, EGC, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar