Jumat, 13 September 2013

Keselamatan Kerja




2.1.    Pengertian Keselamatan Kerja
Keselamatan kerja adalah keselamatan yang  bertalian dengan mesin, pesawat, alat kerja, bahan dan proses pengolahannya, landasan tempat kerja dan lingkungannya serta cara-cara melakukan pekerjaan. Keselamatan kerja bersasaran segala tempat kerja, baik didarat, didalam tanah, dipermukaan air, didalam air, maupun diudara. Tempat-tempat demikian tersebar pada segenap kegiatan ekonomi, seperti pertanian, industri, pertambangan, perhubungan, pekerjaan umum, jasa dan lain-lain. Salah satu aspek penting sasaran keselamatan kerja mengingat resiko bahanya adalah penerapan teknologi, terutama teknologi  yang lebih maju dan mutakhir. Keselamatan kerja adalah tugas semua orang yang bekerja. Keselamatan kerja adalah dari, oleh, untuk setiap tenaga kerja serta orang lainnya dan juga masyarakat pada umumnya.

Adapun yang menjadi tujuan keselamatan kerja adalah sebagai berikut:
1.      Melindungi tenaga kerja atas hak keselamatannya dalam melakukan pekerjaan untuk kesejahteraan hidup dan meningkatkan produksi serta produktivitas nasional.
2.      Menjamin keselamatan setiap orang lain yang berada ditempat kerja.
3.      Sumber produksi dipelihara dan dipergunakan secara aman dan efisien.

Dalam hubungan kondisi-kondisi dan situasi di Indonesia, keselamatan kerja dinilai seperti berikut:
1.      Keselamatan kerja adalah sarana utama untuk pencegahan kecelakaan, cacat dan kematian sebagai akibat kecelakaan kerja. Keselamatan kerja yang baik adalah pintu gerbang bagi keamanan tenaga kerja, kecelakaan selain menjadi sebab hambatan-hambatan langsung juga merupakan kerugian-kerugian secara tidak langsung, yakni kerusakan mesin dan peralatan kerja, terhentinya proses produksi untuk beberapa saat, kerusakan pada lingkungan kerja dan lain-lain. Biaya-biaya sebagai akibat kecelakaan kerja, baik langsung ataupun tidak langsung, cukup bahkan kadang-kadang terlampau besar sehingga bila diperhitungkan secara nasional hal itu merupakan kehilangan yang berjumlah besar.
2.      Analisa kecelakaan secara nasional berdasarkan angka-angka yang masuk atas dasar wajib lapor kecelakaan dan data kompensasinya, dewasa ini seolah-olah relatif rendah dibandingkan dengan banyaknya jam kerja tenaga kerja.
3.      Potensi-potensi bahaya yang mengancam keselamatan pada berbagai sektor kegiatan ekonomi jelas dapat diobservasi, misalnya:
a.       Sektor pertanian yang juga meliputi perkebunan menampilkan aspek-aspek bahaya potensial seperti modernisasi pertanian dengan penggunaan racun-racun hama dan pemakaian alay baru seperti mekanisasi.
b.      Sektor industri disertai bahaya-bahaya potensial seperti keracunan- keracunan bahan kimia, kecelakaan-kecelakaan oleh mesin, kebakaran, ledakan-ledakan dan lain-lain.
c.       Sektor pertambangan mempunyai risiko-risiko khusus sebagai akibat kecelakaan tambang, sehingga keselamatan pertambangan perlu dikembangkan secara sendiri, minyak dan gas bumi termasuk daerah rawan kecelakaan.
d.      Sektor perhubungan ditandai dengan kecelakaan-kecelakaan lalu lintas darat, laut dan udara serta bahaya-bahaya potensial pada industri pariwisata, demikian pula telekomunikasi mempunyai kekhususan dalam risiko bahaya.
e.       Sektor jasa, walaupun biasanya tidak rawan kecelakaan juga menghadapkan problematik bahaya kecelakaan khusus.
4.      menurut observasi, angka frekuensi untuk kecelakaan-kecelakaan ringan yang tidak menyebabkan hilangnya hari kerja tetapi hanya jam kerja masih terlalu tinggi. Padahal dengan hilangnya satu atau dua jam sehari mengakibatkan kehilangan jam kerja yang besar secara keseluruhan.
5.      Analisa kecelakaan memperlihatkan bahwa untuk setiap kecelakaan ada faktor penyebabnya, sebab-sebab tersebut bersumber kepada alat-alat mekanik dan lingkungan serta kepada manusianya sendiri. Untuk mencegah kecelakaan, penyebab-penyebab ini harus dihilangkan.
6.      85% dari sebab-sebab kecelakaan adalah faktor manusia, maka dari itu usaha-usaha keelamatan selain ditujukan kepada teknik mekanik juga harus memperhatikan secara khusus aspek manusiawi. Dalam hubungan ini, pendidikan dan penggairahan keselamatan kerja kepada tenaga kerja merupakan sarana yang sangat penting.
7.      Sekalipun upaya-upaya pencegahan telah maksimal, kecelakaan masih mungkin terjadi dan dalam hal ini adalah besar peranan kompensasi kecelakaan sebagai suatu segi jaminan sosial untuk meringankan bebab penderita.


2.1.1.      Keselamatan Kerja dan Perlindungan Kerja Serta Peningkatan Produksi dan Produktivitas
Perlindungan tenaga kerja meliputi aspek-aspek yang cukup luas, yaitu perlindungan keselamatan, kesehatan, pemeliharaan moral kerja serta perlakuan yang sesuai dengan martabat manusia dan moral agama.

Perlindungan tersebut bermaksud agar tenaga kerja secara aman melakukan pekerjaannya sehari-hari untuk meningkatkan produksi dan produktivitas nasional. Tenaga kerja harus memperoleh perlindungan dari berbagai soal disekitarnya dan pada dirinya yang dapat menimpa dan mengganggu dirinya serta pelaksanaan pekerjaannya,

Jelaslah, bahwa keselamatan kerja adalah suatu segi penting dari perlindungan tenaga kerja. Dalam hubungan ini, bahaya yang timbul dari mesin, pesawat, alat kerja, bahan danproses pengolahannya, keadaan tempat kerja, lingkungan, cara melakukan pekerjaan, karakteristik fisik dan mental daripada pekerjaannya, harus sejauh mungkin diberantas dan atau dikendalikan.

Keselamatan kerja erat bersangkutan dengan peningkatan produksi dan produktivitas. Produktivitas adalah perbandingan diantara hasil kerja (output) dan upaya yang digunakan (input). Keselamatan kerja dapat membantu peningkatan produksi dan produktivitas atas dasar:
1.      Dengan tingkat keselamatan kerja yang tinggi, kecelakaan-kecelakaan yang menjadi sebab sakit, cacat, dan kematian dapat dikurangi atau ditekan sekecil mungkin, sehingga pembiayaan yang tidak perlu dapat dihindari.
2.      Tingkat keselamatan yang tinggi sejalan dengan pemeliharaan dan penggunaan peralatan kerja dan mesin yang produktif dan efisien dan bertalian dengan tingkat produksi dan produktivitas yang tinggi.
3.      Pada berbagai hal, tingkat keselamatan yang tinggi menciptakan kondisi-kondisi yang mendukung kenyamanan serta kegairahan kerja, sehingga faktor manusia dapat diserasikan dengan tingkat efisiensi yang tinggi pula.
4.      Praktek keselamatan tidak bisa dipisah-pisahkan dari keterampilan, keduanya berjalan sejajar dan merupakan unsur-unsur esensial bagi kelangsungan proses produksi.
5.      Keselamatan kerja yang dilaksanakan sebaik-baiknya dengan partisipasi pengusaha dan buruh akan membawa iklim keamanan dan ketenangan kerja, sehingga sangat membantu bagi hubungan buruh dan pengusaha yang merupakan landasan kuat bagi terciptanya kelancaran produksi.


2.1.2.      Kecelakaan Akibat Kerja dan Pencegahannya
Kecelakaan adalah kejadian yang tak terduga dan tidak diharapkan. Tak terduga, oleh karena dibelakang peristiwa itu tidak terdapat unsur kesengajaan, lebih-lebih dalam bentuk perencanaan. Maka dari itu peristiwa sabotase atau tindakan kriminil diluar lingkup kecelakaan yang sebenarnya. Tidak diharapkan, oleh karena peristiwa kecelakaan disertai kerugian material ataupun penderiataan dari yang paling ringan sampai kepada yang paling berat.

Kecelakaan akibat kerja adalah kecelakaan berhubung dengan hubungan kerja pada perusahaan. Hubungan kerja disini dapat berarti, bahwa kecelakaan terjadi dikarenakan oleh pekerjaan atau pada waktu melaksanakan pekerjaaan. Maka dalam hal ini, terdapat dua permasalahan penting, yaitu:
1.      Kecelakaan adalah akibat langsung pekerjaan.
2.      Kecelakaan terjadi pada saat pekerjaan sedang dilakukan.

Kadang-kadang kecelakaan akibat kerja diperluas ruang lingkupnya, sehingga meliputi juga kecelakaan-kecelakaan tenaga kerja yang terjadi pada saat perjalanan ke atau dari tempat kerja. Kecelakaan-kecelakaan dirumah atau waktu rekreasi atau cuti, dan lain-lain adalah diluar makna kecelakaan akibat kerja, sekalipun pencegahannya sering dimasukkan program keselamatan perusahaan. Kecelakaan-kecelakaan demikian termasuk kepada kecelakaan umum hanya saja menimpa tenaga kerja diluar pekerjaannya.

Terdapat tiga kelompok kecelakaan, diantaranya yaitu:
1.      Kecelakaan akibat kerja diperusahaan
2.      Kecelakaan lalu lintas
3.      Kecelakaan dirumah

Bahaya pekerjaan adalah faktor-faktor dalam hubungan pekerjaan yang dapat mendatangkan kecelakaan. Bahaya tersebut disebut potensial, jika faktor-faktor tersebut belum mendatangkan kecelakaan. Jika kecelakaan telah terjadi, maka bahaya tersebut sebagai bahaya nyata. Pencegahan kecelakaan berdasarkan pengetahuan tentang sebab-sebab kecelakaan. Sebab-sebab kecelakaan disuatu perusahaan diketahui dengan mengadakan analisa kecelakaan. Maka dari itu sebab-sebab dan cara analisa harus betul-betul diketahui.

Pencegahan ditujukan kepada lingkungan, mesin-mesin, alat-alat kerja dan manusia. Lingkungan kerja harus memenuhi syarat-syarat lingkungan kerja yang baik, pemeliharaan rumah tangga yang baik, keadaan gedung yang selamat dan perencanaan yang baik. Syarat-syarat lingkungan kerja meliputi ventilasi, penerangan cahaya, sanitasi dan suhu udara. Pemeliharan rumah tangga perusahaan meliputi penimbunan, pengaturan mesin, bejana-bejana dan lain-lain. Gedung harus memiliki alat pemadam kebakaran, pintu keluar darurat, lubang ventilasi, dan lantai yang baik. Perencanaan yang baik terlihat dari pengaturan operasi, pengaturan tempat mesin, proses yang selamat, cukup alat-alat, dan cukup pedoman-pedoman pelaksanaan dan aturan-aturan. Mesin-mesin, alat-alat dan perkakas kerja harus memenuhi perencanaan yang baik, cukup dilengkapi alat-alat pelindung, dan lain-lain. Perencanaan yang baik terlihat dari baiknya pelindung pada bagian-bagian mesin atau perkakas-perkakas yang bergerak, antara lain berputar. Bila ada pengaman tersebut, harus diketahui efektif tidaknya, atau terlihat pula dari potongan, bentuk dan ukurannya, alat-alat atau perkakas kerja. Kurangnya perawatan sering mengakibatkan bencana besar seperti peledakan mesin diesel.

Kecelakaan-kecelakaan akibat kerja dapat dicegah, diantaranya dengan:
1.      Peraturan perundangan, yaitu ketentuan-ketentuan  yang diwajibkan mengenai kondisi-kondisi kerja pada umumnya, perencanaan, konstruksi, perawatan dan pemeliharaan, pengawasan, pengujian dan cara kerja peralatan industri, tugas-tugas pengusaha dan buruh, latihan, supervisi medis, PPPK dan pemeriksaan kesehatan.
2.      Standarisasi, yaitu penetapan standar-standar resmi, setengah resmi atau tidak resmi mengenai misalnya konstruksi yang memenuhi syarat-syarat keselamatan jenis-jenis peralatan industri tertentu, praktek-praktek keselamatan dan higene umum atau alat-alat perlindungan diri.
3.      Pengawasan, yaitu pengawasn tentang dipatuhinya ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang diwajibkan.
4.      Penelitian bersifat teknik, yang meliputi sifat dan ciri-ciri bahan-bahan yang berbahaya, penyelidikan tentang pagar pengaman, pengujian alat-alat perlindungan diri, penelitian tentang pencegahan peledakan gas dan debu, atau penelaahan tentang bahan-bahan dan desain yang paling tepat untuk tambang-tambang pengangkat dan peralatan pengangkat lainnya.
5.      Riset medis, yang meliputi terutama penelitian tentang efek-efek fisiologis dan patologis faktor-faktor lingkungan dan teknologi serta keadaan-keadaan fisik yang mengakibatkan kecelakaan.
6.      Penelitian psikologis, yaitu penyelidikan tentang pola-pola kejiwaan yang menyebabkan terjadinya kecelakaan.
7.      Penelitian secara statistik, yaitu untuk menetapkan jenis-jenis kecelakaan yang terjadi, banyaknya, mengenai siapa saja, dalam pekerjaan apa dan apa sebab-sebabnya.
8.      Pendidikan, yaitu yang menyangkut pendidikan keselamatan dalam kurikulum teknik, sekolah-sekolah perniagaan atau kursus-kursus pertukangan.
9.      latihan-latihan, yaitu latihan praktek bagi tenaga kerja, khususnya tenaga kerja yang baru dalam keselamatan kerja.
10.  penggairahan, yaitu penggunaan cara penyuluhan atau pendekatan lain untuk menimbulkan sikap untuk selamat.
11.  Asuransi, yaitu insentif finansial untuk meningkatkan pencegahan kecelakaan, misalnya dalam bentuk pengurangan premi yang dibayar oleh perusahaan, jika tindakan-tindakan keselamatan sangat baik.
12.  Usaha keselamatan pada tingkat perusahaan, yaitu yang merupakan ukuran utama efektif tidaknya penerapan keselamatan kerja. Pada perusahaanlah kecelakaan-kecelakaan terjadi, sedangkan pola-pola kecelakaan pada suatu perusahaan  sangat tergantung pada tingkat kesadaran akan keselamatan kerja oleh semua pihak yang bersangkutan.

Jelaslah bahwa untuk pencegahan kecelakaan akibat kerja diperlukan kerja sama antara keahlian dan profesi seperti pembuat undang-undang, pegawai pemerintah, ahli-ahli teknik, dokter, ahli ilmu jiwa, ahli statistik, guru-guru dan tentu dari pengusaha dan buruh.


2.1.3.      Klasifikasi Kecelakaan Akibat Kerja
Klasifikasi kecelakaan akibat kerja menurut Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) tahun 1962 adalah sebagai berikut:
1.      Klasifikasi menurut jenis kecelakaan
a.       Terjatuh.
b.      Tertimpa benda jatuh.
c.       Tertumbuk atau terkena benda-benda, terkecuali benda jatuh.
d.      Terjepit oleh benda.
e.       Gerakan-gerakan melebihi kemampuan.
f.       Pengaruh suhu tinggi.
g.      Terkena arus listrik.
h.      Kontak dengan bahan-bahan berbahaya atau radiasi.
i.  Jenis-jenis lain, termasuk kecelakaan-kecelakaan yang data-datanya tidak cukup atau kecelakaan-kecelakaan lain yang belum masuk klasifikasi tersebut.
2.      Klasifikasi menurut penyebab
a.       Mesin.
                          i.      Pembangkit tenaga, terkecuali motor-motor listrik.
                        ii.      Mesin penyalur (Transmisi).
                      iii.      Mesin-mesin untuk pengerjaan logam.
                      iv.      Mesin-mesin pengolah kayu.
                        v.      Mesin-mesin pertanian.
                      vi.      Mesin-mesin pertambangan.
                    vii.      Mesin-mesin lain yang tidak termasuk klasifikasi tersebut.
b.      Alat angkut dan alat angkat.
                          i.      Mesin angkat dan peralatannya.
                        ii.      Alat angkutan diatas rel.
                      iii.      Alat angkutan lain yang beroda, kecuali kereta api.
                      iv.      Alat angkutan udara.
                        v.      Alat angkutan air.
                      vi.      Alat-alat angkutan lain.
c.       Peralatan lain.
                          i.      Bejana bertekanan.
                        ii.      Dapur pembakar dan pemanas.
                      iii.      Instalasi pendingin.
                      iv.      Instalasi listrik, termasuk motor listrik, tetapi dikecualikan alat-alat listrik (tangan).
                        v.      Alat-alat listrik (tangan).
                      vi.      Alat-alat kerja dan perlengkapannya, kecuali alat-alat listrik.
                    vii.      Tangga.
                  viii.      Perancah (steger).
                      ix.      Peralatan lain yang belum termasuk klasifikasi tersebut.
d.      Bahan-bahan, zat-zat dan radiasi.
                          i.      Bahan peledak.
                        ii.      Debu, gas, cairan dan zat-zat kimia, terkecuali bahan peledak.
                      iii.      Benda-benda melayang.
                      iv.      Radiasi.
                        v.      Bahan-bahan dan zat lain yang belum termasuk golongan tersebut.
e.       Lingkungan kerja.
                          i.      Diluar bangunan.
                        ii.      Didalam bangunan.
                      iii.      Dibawah tanah.
f.       Penyebab-penyebab lain yang belum termasuk golongan-golongan tersebut.
                          i.      Hewan.
                        ii.      Penyebab lain.
g. Penyebab-penyebab yang belum termasuk golongan tersebut atau data tak memadai.
3.      Klasifikasi menurut sifat luka atau kelainan
a.       Patah tulang.
b.      Dislokasi/keseleo.
c.       Regang oto/urat.
d.      Memar dan luar dalam yang lain.
e.       Amputasi.
f.       Luka-luka lain.
g.      Luka dipermukaan.
h.      Gegar dan remuk.
i.        Luka bakar.
j.        Keracunan-keracunan mendadak (akut).
k.      Akibat cuaca dan lain-lain.
l.        Mati lemas.
m.    Pengaruh arus listrik.
n.      Pengaruh radiasi.
o.      Luka-luka yang banyak dan berlainan sifatnya.
p.      Lain-lain.
4.      Klasifikasi menurut letak kelainan atau luka ditubuh
a.       Kepala.
b.      Leher.
c.       Badan.
d.      Anggota atas.
e.       Anggota bawah.
f.       Banyak tempat.
g.      Kelainan umum.
h.      Letak lain yang tidak dapat dimasukan klasifikasi tersebut.

Klasifikasi tersebut yang bersifat jamak adalah pencerminan kenyataan, bahwa kecelakaan akibat kerja jarang sekali disebabkan oleh suatu, melainkan oleh berbagai faktor. Penggolongan menurut jenis menunjukkan peristiwa yang langsung mengakibatkan kecelakaan dan menyatakan bagaimana suatu benda atau zat sebagai penyebab kecelakaan menyebabkan terjadinya kecelakaan, sehingga sering dipandang sebagai kunci bagi penyelidikan sebab lebih lanjut. Klasifikasi menurut penyebab dapat dipakai untuk mengolongkan penyebab menurut kelainan atau luka-luka akibat kecelakaan atau menurut jenis kecelakaan terjadi yang diakibatkannya. Keduanya membantu dalam usaha pencegahan kecelakaan, tetapi klasifikasi yang disebut terakhir terutama sangat penting. Penggolongan menurut sifat dan letak luka atau kelainan ditubuh berguna bagi penelaahan tentang kecelakaan lebih lanjut dan terperinci.

Dari penyelidikan, ternyata faktor manusia dalam timbulnya kecelakaan sangat penting. Selalui ditemui dari hasil-hasil penelitian, bahwa 80 – 85% kecelakaan disebabkan oleh kelalaian atau kesalahan manusia, bahkan ada suatu pendapat bahwa akhirnya langsung atau tidak langsung semua kecelakaan adalah dikarenakan faktor manusia. Kesalahan tersebut mungkin saja dibuat oleh perencana pabrik, oleh kontraktor yang membangunnya, pembuat mesin-mesin, pengusaha, insinyur, ahli kimia, ahli listrik, pelaksana atau petugas yang melakukan pemeliharaan mesin dan peralatan.


2.2.  Teori dan Model Penyebab Kecelakaan Kerja
Supaya dapat menentukan upaya pencegahan kecelakaan, kita perlu mengetahui bagaimana kecelakaan dapat terjadi atau dengan kata lain perlu menemukan penyebab kecelakaan tersebut. Secara umum penyebab kecelakaan dapat dikategorikan sebagai berikut:
1.      Penyebab langsung/primer, yang terdiri dari:
v  Perilaku manusia yang tidak aman (unsafe acts).
v  Lingkungan kerja yang tidak aman (unsafe conditions).
2.      Penyebab tidak langsung/dasar (underlying), yang terdiri dari:
v  Faktor  manusia, meliputi faal, kejiwaan.
v  Faktor lingkungan, meliputi fisik, kimiawi, biologis dan psikologis.
v  Faktor manajemen, meliputi kebijakan, keputusan, evaluasi pengendalian dan administrasi.


2.2.1.  Teori Penyebab Kecelakaan Kerja
Selain model kecelakaan kerja, dikemukakan juga teori penyebab kecelakaan kerja yang menyatakan bahwa kecelakaan kerja dapat dicegah. Hal tersebut dikenal dengan nama the domino theory (teori domino). (Heinrich, 1931) dalam risetnya menemukan sebuah teori yang dinamakannya teori domino. Teori itu menyebutkan bahwa pada setiap kecelakaan yang menimbulkan cedera terdapat lima faktor secara berurutan yang digambarkan sebagai lima domino yang berdiri sejajar, diantaranya yaitu kebiasaan, kesalahan seseorang, perbuatan dan kondisi tidak aman (hazard), kecelakaan serta cedera. Heinrich mengemukakan, untuk mencegah terjadinya kecelakaan, kuncinya dalah dengan memutusakan rangkaian sebab akibat, misalnya dengan membuang kondisi yang tidak aman (hazard).
(Birds, 1967) memodifikasi teori domino Heinrich dengan mengemukakan teori manajemen yang berisikan lima faktor dalam urutan suatu kecelakaan, yaitu manajemen, sumber penyebab dasar, gejala, kontak dan kerugian. Dalam teorinya, Birds mengemukakan  bahwa usaha pencegahan kecelakaan kerja hanya dapat berhasil dengan mulai memperbaiki manajemen keselamatan dan kesehatan kerja. Praktek dibawah standar atau unsafe acts dan kondisi dibawah standar atau unsafe conditions merupakan penyebab langsung suatu kecelakaan dan penyebab utama dari kesalahan manajemen. Dalam penelitiannya, Birds mengemukakan bahwa setiap satu kecelakaan berat disertai oleh sepuluh kejadian kecelakaan ringan, tiga puluh kecelakaan yang menimbulkan kerusakan harta benda dan enam ratus kejadian-kejadian hampir celaka. Biaya yang dikeluarkan perusahaan akibat kecelakaan kerja dengan membandingkan biaya langsung dan biaya tak langsung adalah 1:5-50 dan digambarkan sebagai gunung es.


2.2.2.  Model Penyebab Kecelakaan Kerja
Selama beberapa tahun telah dikembangkan beberapa model penyebab kecelakaan kerja. Beberapa model penyebab kecelakaan yang umum diketahui (Goetsch, 1996) adalah sebagai berikut, yaitu:
A.    The human factor model
Teori ini menyatakan kecelakaan sebagai rantai kejadian yang pada akhirnya disebabkan oleh human error (kesalahan manusia). Human error terdiri atas tiga faktor, yaitu overload, inappripiate response/incompatibility dan inappropiate activities.

Overload (kelebihan beban) adalah ketidak seimbangan antara kapasitas seseorang pada suatu waktu dengan beban yang ditugaskan kepada orang tersebut. Kapasitas seseorang dipengaruhi oleh kemampuan alami, pelatihan yang pernah diterima, kelelahan, stres dan kondisi fisik. Sementara beban yang  ditanggung terdiri dari tugas yang diberikan serta faktor tambahan lainnya seperti lingkungan, faktor internal dan situasi.

Yang dimaksud dengan innappropiate response (ketidak sesuaian respon) adalah respon seseorang yang tidak sesuai, misalnya seseorang  pekerja memindahkan alat pengaman dari mesin dengan tujuan untuk meningkatkan output  mesin tersebut. Inappropiate activities (ketidak sesuaian kegiatan), misalnya melakukan tugas yang tidak dimengerti dan tidak memahami resiko pekerjaan yang sedang dilakukan.

B.     The epidemiological model (model epidemiologi)
Epidemiologi merupakan ilmu yang mempelajari hubungan sebab akibat antara lingkungan dan penyakit. Dalam teori penyebab kecelakaan epidemiologi, ilmu tersebut diterapkan untuk menentukan hubungan  antara faktor lingkungan dengan kecelakaan.

Menurut the epidemiological theory, komponen kuncinya adalah sebagai berikut:
v  Karakteristik yang mudah terpengaruh, misalnya persepsi orang, faktor lingkungan).
v  Karakteristik situasi, misalnya tekanan dari teman, prioritas dari supervisor dan sikap.
Kedua karakteristik tersebut secara bersama-sama dapat menyebabkan kecelakaan ataupun mencegah kecelakaan.

C.     The system model
Sistem adalah kumpulan dari berbagai komponen yang saling berinteraksi membentuk kesatuan. Dalam teori ini, situasi yang menyebabkan terjadinya kecelakaan dipandang sebagai suatu sistem dengan komponen manusia, mesin dan lingkungan. Kemungkinan terjadinya kecelakaan ditentukan oleh interaksi antara komponen-komponen tersebut. Perubahan pola interaksi komponen-komponen dalam sistem dapat meningkatkan ataupun menurunkan kemungkinan terjadinya kecelakaan.

Salah satu model sistem yang banyak digunakan adalah model sistem yang dikembangkan oleh R.J. Firenzie (Goetsch, 1996). Model sistem dikembangkan dengan komponen-komponen utama, yaitu manusia/mesin/lingkungan, informasi, keputusan, resiko dan tugas yang harus dilakukan. Dalam setiap pekerjaan terdapat resiko terjadinya kecelakaan, baik besar maupun kecil. Untuk itu, pekerja perlu mengumpulkan informasi melalui pengamatan lingkungan sehingga dapat menilai resiko dan selanjutnya mengambil keputusan untuk melakukan suatu pekerjaan atau tidak melakukannya.

D.    The behavioral model
Menurut teori ini, didalam diri seseorang  terdapat sikap yang diharapkan dan sikap yang perlu dihindari berkaitan dengan kecelakaan. Untuk meningkatkan sikap yang diharapkan dan mengurangi sikap yang buruk, maka diperlukan kekuatan positif dalam bentuk insentif dan penghargaan. E. Scott Geller, salah seorang pendukung behavioral theory, mengemukakan tujuh prinsip, yaitu:
1)      Interensi.
2)      Identifikasi faktor eksternal.
3)      Memotivasi pekerjaan untuk memiliki sikap yang diinginkan.
4)      Fokus pada akibat positif dari sikap yang sesuai.
5)      Menerapkan metode ilmiah untuk meningkatkan interversi sikap.
6)      Integrasi informasi.
7)      Perencanaan interversi.


2.2.3. Analisa Sebab-Sebab Kecelakaan
Upaya untuk mencari sebab kecelakaan disebut analisa sebab kecelakaan. Analisa ini dilakukan dengan mengadakan penyelidikan atau pemeriksaan terhadap peristiwa kecelakaan. Analisa kecelakaan tidak mudah, oleh karena penentuan sebab-sebab kecelakaan secara tepat adalah pekerjaan sulit. Kecelakaan harus secara tepat dan jelas diketahui, bagaimana dan mengapa terjadi. Hanya pernyataan bahwa kecelakaan dikarenakan oleh misalnya alat kerja atau tertimpa benda jatuh tidaklah cukup, melainkan perlu ada kejelasan tentang serentetan peristiwa keseluruhannya yang menyebabkan terjadinya kecelakaan. Apabila sebab satu bagian dari rentetan peristiwa tersebut dihilangkan, kecelakaan tidak akan terjadi.

Contoh:
Seseorang menaiki tangga dan terjatuh, oleh karena satu anak tangga tidak ada. Analisa kecelakaan dengan pemeriksaan menemukan kenyataan-kenyataan sebagai berikut:
1.      Terdapat tangga diruang kerja dengan salah satu anak tangga hilang.
2.      Seorang tenaga kerja mengambil tangga itu dan menggunakannya untuk pekerjaan perawatan.
3.      Sesudah pekerjaan selesai ia turun tanpa ingat bahwa satu anak tangga tidak ada.

Ketiga faktor ini perlu untuk terjadinya kecelakaan, tetapi kecelakaan terjadi hanya karena keseluruhan dari ketiga faktor tersebut terjadi. Jika salah satu faktor tidak ada, kecelakaan tidak akan terjadi. Faktor mana yang akan ditonjolkan sebagai penyebab kecelakaan adalah faktor yang positif akan membantu pencegahan selanjutnya, agar tindakan selanjutnya positif memberikan manfaat. Dalam hal ini, adanya tangga yang tidak lengkap anak tangganya adalah sebab utama yang harus diperbaiki. Sedangkan lain-lain dapat dianggap penyebab tambahan yang perlu pula ada perhatian, yaitu perlunya larangan penggunaan tangga yang tidak baik dan perlunya pendidikan kepada tenaga kerja, agar selalu berhati-hati dalam pekerjaannya.

Cara pemeriksaan kecelakaan sangat penting untuk mengetahui sebabnya. Pemeriksaan kecelakaan harus selalu dilakukan ditempat terjadinya kecelakaan. Adalah sangat memudahkan, jika pemeriksaan dilakukan pada keadaan yang belum diubah seperti ketika kecelakaan terjadi. Maka dari itu, setelah terjadinya kecelakaan tempat tersebut tidak diganggu dan dibiarkan sedemikian, kecuali jika perlu pengamanan terhadap terjadinya kecelakaan atau kerusakan lebih lanjut. Adapun korban harus segera mendapat pertolongan yang sebaik-baiknya dan setepat-tepatnya.

Apakah tempat kecelakaan telah berubah atau tidak, tetap perlu untuk rekonstruksi serentetan peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum kejadian kecelakaan dengan bantuan si korban dan kerjasama dengan saksi-saksi. Pemeriksaan harus secara cermat meneliti tempat tersebut dan segala sesuatu yang bersangkutan dengan kecelakaan dan memeriksa saksi-saksi. Pada umumnya, sebab kecelakaan dapat ditemukan dengan cara pemeriksaan demikian. Namun ada kalanya, masih diperlukan bantuan laboratorium pengujian seperti misalnya pada kecelakaan dengan putusnya rantai baja atau tambang kawat. Pemeriksaan laboratoris diperlukan untuk mengetahui sebab putusnya rantai atau tambang tersebut antara lain dengan pemeriksaan mikroskopis atau analisa kimiawi laboratoris.

Kecelakaan-kecelakaan diselidiki dengan maksud sebagai berikut:
1.      Menentukan siapa yang bertangung jawab atas terjadinya kecelakaan.
2.      Mencegah terulangnya peristiwa yang serupa.

Menetapkan siapa yang bersalah adalah sangat berbeda dibanding dengan menyelidiki kecelakaan untuk pencegahan. Tanggung jawab tentang terjadinya kecelakaan berkaitan dengan hak kompensasi kecelakaan, penindakan atau hukuman bagi pelangran ketentuan-ketentuan keselamatan, tindakan lain terhadap yang bersalah, dan lain-lain. Penyelidikan tentang tanggung jawab ini sangat membantu dalam pencegahan terulangnya kecelakaan.

Jika penyelidikan kecelakaan dimaksudkan untuk mencapai kedua tujuan tersebut, hal ini sangat menyulitkan terutama untuk menemukan sebab-sebab kecelakaan. Mereka yang merasa akan jadi tersangka tidak akan memberikan keterangan yang sejujur-jujurnya sehingga bahan-bahan tidak lengkap dan mungkin tidak benar,  maka tidak mungkin mencari sebab yang tepat. Dari itulah perlu dicamkan, bahwa penyelidikan kecelakaan terutama bertujuan pencegahan. Umum diterima, bahwa kecelakaan juga beberapa bagian dikarenakan kekhawatiran, kesedihan, keadaan sakit, cepat marah, kecewa, keadaan agresif, keracunan atau keadaan-keadaan fisik dan mental serta keadaan-keadaan ini mungkin ada hubungannya dengan keadaan luar dan dalam perusahaan. Juga sangat sering, bahwa suatu kecelakaan adalah akibat dari perpaduan keadaaan teknologi, fisiologis dan psikologis.

Sekalipun rumit permasalahan sebab-sebab kecelakaan, secara sederhana dapat dikatakan, bahwa penyebab kecelakaan paling utama ditemukan tidak pada mesin-mesin yang paling berbahaya, seperti mesin gergaji sirkuler, mesin pengaduk dan mesin tekan atau zat-zat yang paling berbahaya, seperti bahan-bahan peledak atau cairan-cairan yang mudah menyala, tetapi pada kegiatan-kegiatan yang biasa seperti terjatuh, bekerja tidak tepat atau penggunaan perkakas tangan dan tertimpa oleh benda jatuh. Kenyataan ini dapat dilihat dari beberapa statistik. Di Prancis, kecelakaan-kecelakaan atas penyebab demikian mencapai 78,2%, sedangkan oleh mesin hanya 11,5%. Di Amerika Serikat akhir-akhir ini, kecelakaan-kecelakaan oleh pesawat-pesawat motor hanya 0,4% dan oleh mesin-mesin 9,8%. Di Indonesia, keadaan masih sedemikian bahwa kecelakaan-kecelakaan yang berat lah yang dilaporkan dan angka kecelakaan atas dasar laporan tersebut terbesar bersumber pada pekerjaan-pekerjaan yang berbahaya.


2.2.4.      Kerugian-Kerugian  Yang  Disebabkan Kecelakaan Akibat Kerja
Kecelakaan kerja menyebabkan 5 jenis kerugian (5K), diantaranya yaitu:
1.      Kerusakan.
2.      Kekacauan organisasi.
3.      Keluhan dan kesedihan.
4.      Kelainan dan cacat.
5.      Kematian.

Bagian mesin, pesawat, alat kerja, bahan, proses, tempat dan lingkungan kerja mungkin rusak oleh kecelakaan. Akibat dari itu, terjadilah kekacauan organisasi dalam proses produksi. Orang yang ditimpa kecelakaan mengeluh dan menderita, sedangkan keluarga dan kawan-kawan sekerja akan bersedih hati. Kecelakaan tidak jarang berakibat luka-luka, terjadinya kelainan tubuh dan cacat. Bahkan tidak jarang kecelakaan merenggut nyawa dan berakibat kematian.

Kerugian-kerugian tersebut dapat diukur dengan besarnya biaya yang dikeluarkan bagi terjadinya kecelakaan. Biaya tersebut dibagi menjadi biaya langsung dan biaya tersembunyi. Biaya langsung adalah biaya pemberian pertolongan pertama bagi kecelakaan, pengobatan, perawatan, biaya rumah sakit, biaya angkutan, upah selama tak mampu bekerja, kompensasi cacat, dan biaya perbaikan alat-alat mesin serta biaya atas kerusakan bahan-bahan. Biaya tersembunyi meliputi segala sesuatu yang tak terlihat pada waktu atau beberapa waktu setelah kecelakaan terjadi. Biaya ini mencakup berhentinya proses produksi oleh karena pekerja lainnya menolong atau tertarik oleh peristiwa kecelakaan itu, biaya yang harus diperhitungkan untuk mengganti orang yang sedang menderita oleh karena kecelakaan dengan orang baru yang belum biasa bekerja ditempat itu, dan lain-lain.

Kecelakaan-kecelakaan besar dengan kerugian-kerugian besar biasanya dilaporkan, sedangkan kecelakaan-kecelakaan kecil tidak dilaporkan. Padahal biasanya peristiwa-peristiwa kecelakaan kecil adalah 10 kali kejadian kecelakaan-kecelakaan besar. Maka dari itu, kecelakaan-kecelakaan kecil menyebabkan kerugian-kerugian yang besar pula manakala dijumlahkan secara keseluruhan.


2.3.      Keselamatan Kerja Diperusahaan
Kondisi  keselamatan kerja diperusahaan di Indonesia secara umum diperkirakan termasuk rendah. Kondisi  tersebut mencerminkan kesiapan daya saing perusahaan Indonesia didunia internasional yang masih sangat rendah. Indonesia akan sulit menghadapi pasar global karena mengalami ketidakefisienan pemanfaatan tenaga kerja (produktivitas kerja yang rendah). Padahal kemajuan perusahaan sangat ditentukan peranan mutu tenaga kerjanya. Karena itu, perlunya perhatian perusahaan untuk memfasilitasi dengan peraturan atau aturan perlindungan Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
2.3.1.      Keselamatan Ditempat Kerja
Undang- undang, peraturan, pengawasan, rekomendasi, nasehat, riset, pameran, konferensi, seminar, lokakarya dan lain-lain tidak ada artinya, jika ditempat kerja tidak ada usaha untuk meningkatkan keselamatan. Perusahaan harus aktif dengan segala organisasinya untuk membuat tempat kerja yang ada lebih selamat. Pimpinan perusahaan atau pengurus perusahaan harus menjadi pemimpin aktivitas keselamatan. Setiap orang diperusahaan harus tahu bahwa pimpinan perusahaan tidak hanya tertarik kepada produksi, kualitas dan kuantitas produk, pencegahan terbuangnya material, pemeliharaan mesin dan peralatan secara baik, tetapi juga kepada keselamatan.

Untuk keselamatan ditempat kerja terdapat komponen-komponen penting yaitu tanggung jawab pimpinan perusahaan, pendelegasian wewenang kepada staf pengawasan, status dan kegiatan panitia keselamatan, peranan ahli keselamatan dan lain-lain. Materi bagi peningkatan keselamatan ditempat kerja adalah perencanaan yang baik oleh pimpinan perusahaan, penerapan cara-cara kerja yang aman oleh tenaga kerja, keteraturan yang baik dan pemasangan pagar pengaman atau pelindung terhadap mesin-mesin yang berbahaya. Pimpinan perusahaan harus mengorganisasi proses secara efisien dengan mengkobinasikan produksi maksimum dengan biaya minimum dan dengan memasukan keselamatan tidak sebagai ekstra tetapi merupakan satu bagian dari proses. Kebiasaan-kebiasaan kerja secara benar harus ditimbulkan oleh latihan kerja yang tepat dan selanjutnya diteruskan dalam praktek ditempat kerja. Keteraturan dan ketata-rumahtanggaan sebagaimana juga alat-alat pengaman penting bagi produksi dan juga keselamatan. Mengenai aspek psikologis, kondisi kerja yang berakibat ketenangan mental sangat membantu meningkatkan keselamatan. Diperusahaan, pimpinan perusahaan harus menetapkan apa yang harus dilakukan tentang permasalahan tersebut dan memberikan intruksi yang diperlukan. Orang yang biasanya melaksanakan tugas-tugas ini adalah pengawas atau pimpinan kelompok yang peranannya sangat besar dalam penyelenggaraan keselamatan kerja.

Pada perusahaan besar mungkin terdapat bagian keselamatan dalam organisasi perusahaan atau seorang ahli keselamatan kerja, sedangkan kerja sama semua pihak dalam kegiatan keselamatan akan lebih digalangkan oleh suatu keselamatan. Biasanya bagian personalia bertanggung jawab tentang pengangkatan tenaga kerja baru dan mengenai latihan kerja didalam perusahaan. Pada perusahaan kecil, prinsip-prinsip demikian tetap berlaku tetapi organisasinya lebih sederhana. Apakah perusahaan harus mempunyai ahli keselamatan dan panitia keselamatan secara bersama-sama seing dipermasalahkan. Ruang gerak terdapat untuk keduanya, oleh karena ahli keselamatan berfungsi keahlian, sedangkan panitia keselamatan bertugas menggalang kerja sama yang efisien diantara pengusaha dan buruh. Diperusahaan yang relatif lebih kecil, tidak cukup aktifitas dan kebutuhan untuk mempunyai seorang ahli keselamatan kerja, tetapi tetap terdapat ruang lingkup kegiatan bagi panitia keselamatan kerja. Pada perusahaan-perusahaan yang lebih kecil lagi, kebutuhan akan panitia keselamatan lebih berkurang lagi sebagai akibat dekatnya hubungan diantara pimpinan perusahaan, buruh dan pengawas kelompok.


2.3.2.      Peranan Pimpinan Perusahaan
Semboyan bahwa “keselamatan harus mulai dari atas” menunjukan secara tegas pentingnya peranan pimpinan perusahaan bagi keberhasilan program keselamatan. Pimpinan atau pengawas kelompok tenaga kerja, ahli keselamatan dan staf lainnya tidak pernah berhasil banyak apabila pimpinan perusahaan tidak mengambil tugas kepemimpinan dalam meningkatkan dan mempertahankan standar keselamatan yang tinggi. Pengaruh pimpinan perusahaan harus menjadi kenyataan pada segenap kegiatan yang bertalian dengan lingkungan kerja dan pengelolaan tenaga kerja diperusahaan.

Faktor-faktor lingkungan yang terbukti merupakan alat yang berguna bagi menurunkan jumlah kecelakaan meliputi kebersihan, produksi yang efisien, peralatan dengan efisiensi tinggi, mesin-mesin yang memiliki motor masing-masing, penerangan yang sangat baik, pemakaian warna yang dipilih secara hati-hati bagi langit-langit atau atap, dinding dan mesin, sistem pengaturan udara termasuk suhunya yang baik dan tempat duduk yang baik. Keberhasilan pimpinan perusahaan dalam keselamatan juga harus dilihat dari kenyataan seperti mesin-mesin benar-benar diberi perlindungan keselamatan, tempat-tempat berbahaya diberi pagar pengaman, penydiaan peralatan yang tepat dan perawatannya dilakukan, alat-alat perlindungan diri disediakan. Jika hal-hal tersebut tidak memadai, tenaga kerja tidak pernah akan memberi cukup kepercayaan bahwa pengusaha benar-benar menaruh perhatian terhadap keselamatan, dengan begitu tenaga kerja tidak akan memperhatikan pula masalah keselamatan.

Pimpinan perusahaan tidak boleh sedikitpun memberikan kesan keraguan kepada tenaga kerja tentang perhatian dan keterlibatannya dalam peristiwa kecelakaan. Pada suatu peristiwa kecelakaan, khususnya yang cukup berat, pimpinan perusahaan selain hanya melihat laporan kecelakaan juga harus memperoleh keterangan langsung dari tangan pertama yaitu korban kecelakaan, pimpinan regu atau kelompok dan pengurus ditempat kerja atau bagian perusahaan. Dengan begitu, selain ia menunjukan perhatian juga sekaligus menegaskan tanggung jawab pimpinan regu atau kelompok dan pimpinan bagian yang bersangkutan. Jika kecelakaan berat, keterlibatan dan perhatian pimpinan perusahaan terhadaap membantu korban harus pula terlihat pada pengaturan rumah sakit dan perhatian pada keluarga korban.

Jika perhatian pimpinan perusahaan terhadap keselamatan besar, hal itu sangat baik. Perhatian tersebut jangan menunggu sampai adanya kewajiban perbaiakan keselamatan dari pengawas keselamatan kerja atau adanya desakan dari serikat buruh. Dalam banyak hal, pengusaha tidak atau kurang atau tidak mau memperlihatkan keselamatan kerja dan pencegahan kecelakaan. Oleh karena itu perlu penyuluhan dan pengarahan bagi mereka disamping penerapan kewajiban perundang-undangan.



2.3.3.      Peranan Pimpinan Regu Atau Kelompok
Penerapan keselamatan kerja banyak tergantung kepada pimpinan regu atau kelompok. Tenaga kerja dalam regunua berada dalam pimpinannya dan tingkah laku mereka banyak dipengaruhi oleh pimpinan tersebut. Manakala pimpinan regu atau kelompok hanya menaruh perhatian kepada produksi dan ia terlihat pada banyak kegiatan lain, tetapi keselamatan diluar lingkup rasa tanggung jawabnya, banyak kecelakaan cenderung terjadi. Atas dasar biaya kecelakaan, mungkin secara lambat atau cepat mereka tertarik pula pada usaha pencegahan kecelakaan. Peranan pimpinan perusahaan untuk mengarahkan perhatian mereka terhadap keselamatan kerja sangat penting, ada pula kemungkinan bahwa pimpinan regu atau kelompok melampaui waktu atau kemampuan kerja sehingga beberapa hal termasuk keselamatan dilupakan.

Contoh:
Suatu alat pengepres diperbaiki, kemudian  pagar pelindung tidak cocok lagi untuk dipasang. Oleh karena banyaknya permintaan, pekerjaan harus diselesaikan agar keuntungan dapat dikejar. Pimpinan kelompok menyuruh tenaga kerja bekerja tanpa pagar pengaman dan terjadilah kecelakaan pada tangan.
Pimpinan regu atau kelompok harus yakin bahwa keceelakaan dapat dicegah sebagaimana ia yakin bahwa pemborosan material dapat dicegah dan bahwa cara-cara kerja dapat diperbaiki. Bagi tenaga kerja, pimpinan kelompok atau regu merupakan wakil dari perusahaan. Ia harus mengawasi bahwa sasaran pekerjaan dan perintah pimpinan perusahaan dilaksanakan dengan menggunakan kewenangan dari pengaruh pribadinya. Kalau ia tidak bersungguh-sungguh dalam usaha keselamatan, seluruh anggota kelompok yang pimpinannya juga tidak akan berbuat sebagaimana mestinya. Sebaliknya, jika ia yakin akan perlunya keselamatan, jika ia memberi contoh bahwa keselamatan harus selalu diperhatikan dan jika ia sendiri melakukan segala-galanya untuk keselamatan, maka tenaga kerja yang dipimpinnya akan mengikutinya.



2.3.4.      Peranan Ahli Atau Personil Keselamatan Kerja
Ahli keselamatan atau personil keselamatan, jika ada biasanya menyusun rencana dan pelaksanaannya dilakukan oleh seluruh komponen dalam perusahaan. Ia mungkin melakukan diskusi dengan setiap pengawas atau pimpinan kelompok atau regu dan memberikan advis-advis tentang pelaksanaan slanjutnya dalam keselamatan kerja atau pencegahan kecelakaan.

Fungsi seorang ahli keselamatan kerja secara singkat adalah meniadakan bahaya-bahaya yang meliputi sebagai berikut:
1.      Merumuskan dan melakukan supervisi tentang pelaksanaan kebijaksanaan pencegahan kecelakaan pada umumnya.
2.      Membuat laporan dan memberikan nasehat-nasehat kepada pimpinan perusahaan tentang semua permasalahan keselamatan.
3.      Memberi bimbingan kepada staf yang melakukan supervisi.
4.      Mengadakan penelitian tentang kecelakaan.
5.      Melakukan pencatatan kecelakaan dan statistik.
6.      Melakukan pengawasan tentang latihan keselamatan.
7.      Mengadakan pemeriksaan diperusahaan, pada peralatan, proses-proses dan cara kerja.
8.      Mengambil peranan dan membantu panitia keselamatan.
9.      Membuat petunjuk-petunjuk, bimbingan dan bahan-bahan lain dalam keselamatan.
10.  Mengarahkan kegiatan-kegiatan keselamatan seperti perlombaan, pameran dan gerakan-gerakan keselamatan.
11.  Secara umum melakukan segala sesuatu yang ia dapat untuk membuat kondisi-kondisi yang selamat diperusahaan dan meniadakan praktek-praktek yang tidak memenuhi syarat keselamatan kerja dalam pekerjaan..

Pada saat-saat tertentu, ahli keselamatan menjadi sangat penting kedudukannya. Misalnya pada pengelasan tangki yang dipakai untuk cairan yang mudah terbakar, tanpa komandonya pekerjaan tidak akan dimulai. Kalau ahli keselamatan kerja dalam pemeriksaan diperusahaan melihat hal yang berbahaya, ia dapat memerintahkan agar pekerjaan dihentikan hingga usaha-usaha pencegahan sudah diambil. Dalam struktur organisasi perusahaan besar, ahli keselamatan kini telah menduduki tempat yang cukup tinggi. Perusahaan-peusahaan kecil seharusnya dianjurkan untuk secara bersama-sama mempunyai ahli keselamatan kerja, namun hal ini tentu saja tidak mudah oleh karena perusahaan-perusahaan mungkin berkeberatan untuk memperkenankan orang dari luar masuk keperusahaan dan selain itu juga ahli-ahli seperti itu belum banyak.


2.3.5.      Panitia Keselamatan
Pembentukan panitia keselamatan dan kesehatan diwajibkan diperusahaan, tujuannya adalah peningkatan keselamatan melalui kerja sama bipartit, yaitu pengusaha dan buruh. Pimpinan perusahaan harus menggunakan panitia keselamatan dan kesehatan untuk menjelaskan kepada buruh tentang kebijaksanaan keselamatan, oleh karena anggota-anggota dari panitia akan meneruskan penjelasan itu kepada mereka. Sebaliknya, buruh akan menyampaikan pandangan-pandangan dan saran-saran kepada pengusaha tentang keselamatan kerja melalui panitia. Panitia ini harus membantu menanamkan kepercayaan buruh terhadap kebijaksanaan keselamatan perusahaan dan membantu pengusaha untuk menghargai pengalaman dari tenaga kerja. Secara singkat, panitia keselamatan harus memegang peranan dalam menciptakan saling pengertian dan kerja sama yang baik diantara pengusaha dan buruh demi keselamatan kerja. Sebagaimana dikemukakan, panitia terdiri dari wakil-wakil pengusaha dan buruh. Wakil-wakil perusahaan harus meliputi staf  yang erat bertalian dengan soal keselamatan seperti pimpinan suatu bagian perusahaan, ahli keselamatan, pimpinan kelompok dan dokter perusahaan.

Banyak panitia keselamatan yang berhasil, tetapi banyak juga yang tidak. Bahkan ada yang didirikan tetapi tidak ada kegiatan-kegiatannya. Untuk keberhasilan panitia tersebut, perrlu diketahui pedoman-pedoman sebagai berikut:
1.      Permasalahan yang akan dibicarakan dalam pertemuan harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya agar ketua panitia dapat memberikan petunjuk-petunjuk yang jelas kepada para anggotanya dalam setiap segi apabila diperlukan. Pembahasan tidak boleh membingungkan, biasanya pertemuan dimulai dengan pernyataan pihak perusahaan tentang perhatiannya dalam keselamatan.
2.      Kegagalan sering merupakan akibat dari kenyataan bahwa pembinaan keselaatan bukan hanyan berlandaskan kemampuan baik semata, tetapi juga keahlian. Hal ini tidak berarti bahwa setiap anggota panitia haruslah ahli keselamatan, tetapi harus cukup jumlah anggotanya yang kompeten untuk melaksanakan pekerjaan yang bertalian dengan bidang keselamatan tersebut.
3.      Anggota-anggota yang mewakili buruh harus selalu merasa bebas untuk menyatakan pendapat dan tidak boleh menyebabkan kesulitan baginya, jika ia mengemukakan pendapat yang berbeda atau kritik. Pimpinan perusahaan atau senior jarang berkeberatan atas suatu kritik yang membangun, tetapi pimpinan regu mungkin akan bereaksi keras dan menganggap kritik tersebut sebagai hal yang  pribadi, dalam hal ini suasana harus segera dijernihkan kearah tujuan bersama yang baik.
4.      Panitia keselamatan harus merasa didukung oleh pimpinan perusahaan. Hal ini antara lain dicerminkan dengan duduknya wakil dari pimpinan perusahaan sebagai ketua, disediakan ruangan yang cukup untuk rapat, diperkenankannya para anggota menghadiri rapat dalam jam kerja, diselenggarakannya keperluan sekretariat dan administrasi, diperkenankannya panitia atau para anggotanya untuk mengunjungi tempat-tempat kerja, jika dirasa perlu dan lain-lain.
5.      Panitia harus diminta pendapat dan nasehatnya tentang semua usulan bagi tindakan-tindakan keselamatan yang baru sehingga sejauh mungkin ketentuan-ketentuan tersebut merupakan keputusan bersama pengusaha dan buruh.
6.      Jika suatu usul dari panitia ditolak oleh pimpinan perusahaan, panitia harus diberi tahu tentang alasan-alasannya.
7.      Semua keterangan yang diperlukan, seperti halnya statistik harus dismpaikan pada panitia, tidak hanya sekedar agar mereka mengetahui keadaan umum dan kecenderungan dalam kecelakaan, tetapi juga agar mereka memiliki landasan yang kuat bagi pembahasan untuk pembinaan keselamatan kerja.

Anggota-anggota panitia keselamatan diperusahaan mempunyai tugas umum untuk membina kerja sama segenap tenaga kerja dalam usaha keselamatan kerja dan pencegahan kecelakaan. Mereka harus mengusahakan agar disiplin dalam keselamatan kerja ditegakan dan agar menghilangkan ketidak acuhan serta hambatan oleh tenaga kerja. Tidak senangnya akan perintah dapat dihilangkan melalui penjelasan teman sekerja yang disukai.

Para anggota panitia harus mengusahakan agar sikap “saya dapat mengurus diri sendiri” diganti dengan sikap “saya bodoh mengambil risiko yang tidak perlu”. Lebih banyak tenaga kerja diberikan kesempatan untuk ikut merumuskan ketentuan-ketentuan keselamatan, maka hasilnya pun akan lebih baik. Kerja sama diantara anggota panitia lebih terasa pada waktu perlunya tenaga kerja dibri keterangan tentang ketentuan, instruksi dan lain-lain, yaitu suatu tugas yang sebenarnya lebih berat dari kelihatannya. Akhirnya, anggota-anggota panitia tidak boleh lupa bahwa salah satu tugasnya adalah melaporkan keadaan-keadaan yang berbahaya kepada ahli keselamatan dengan segera dan tidak menunggu sampai dilakukannya rapat yang akan datang.


2.3.6.      Analisa Keselamatan Terhadap Pekerjaan
Seperti halnya produktivitas yang memperoleh manfaat dari analisa pekerjaan, demikian juga keselamatan memetik keuntungan dari analisa keselamatan terhadap pekerjaan. Produktivitas dan keselamatan erat bertalian, dengan analisa pekerjaan keselamatan tidak dapat dilupakan dan dengan keselamatan orang tidak dapat melupakan produktivitas.

Analisa keselamatan terhadap pekerjaan, terlepas dari apakah bagian atau bukan dari analisa pekerjaan dapat berperan besar dalam meniadakan bahaya-bahaya yang bersumber dari pekerjaan. Analisa mengurai setiap operasi dalam pekerjaan, menelaah bahaya-bahaya tiap-tiap kegiatan dan menunjukan tindakan pencegahnnya. Analisa bertalian dengan penelaahan ijin kerja, rencana gambar dan peralatan, kualifikasi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan dan pedoman kerja srta latihan yang diperlukannya.

Suatu hal dalam analisa pekerjaan yang dapat mengurangi tugas keselamatan adalah peniadaan kegiatan-kegiatan yang tidak perlu dan penyerderhanaan kegiatan-kegiatn yang rumit. Sama-sama dimaklumi, bahwa banyak kecelakaan terjadi pada pengolahan bahan. Jika proses pengolahan dapat disederhanakan, kecelakaan-kecelakaan akan berkurang.


2.3.7.      Pedoman Keselamatan Kerja
Suatu tindakan lain dalam keselamatan diperusahaan adalah dikeluarkannya pedoman dan petunjuk tentang keselamatan yang berhubungan dengan pengolahan material, menjalankan mesin atau pekerjaan-pekerjaan lainnya. Pedoman dan petunjuk tidak dapat menggantikan alat-alat perlindungan, tetapi berguna sebagai penunjang penggunaan alat-alat pengaman tersebut atau sangat berguna manakala alat pengaman tidak dapat dipasang. Sebagai contoh, perlu pedoman atau petunjuk tentang cara penggunaan rantai atau tali pengangkat, penyimpanan dan pemeriksaannya atau tentang perawatan mesin atau perawatan lainnya.
Mempersiapkan suatu pedoman atau petunjuk tidaklah mudah, yang sulit adalah penerapannya. Cara terbaik agar pedoman atau petunjuk ditaati adalah  pengikut sertaan para pelaku dalam perumusan pedoman atau petunjuk. Hal ini dapat dilakukan melalui panitia keselamatan atau mengajak yang bersangkutan untuk berkonsultasi. Segera setelah petunjuk atau pedoman dikeluarkan, harus ada tindakan selanjutnya antara lain supervisi dan lain-lain.

Pedoman atau petunjuk tidak ada manfaatnya jika tidak ditaati. Untuk itu isinya harus tepat, suatu pedoman yang tidak jelas, misalnya seperti dianjurkan memakai sepatu pelindung, pemakaiannya diserahkan kepada pertimbangan tenaga kerja. Seharusnya pedoman berbunyi seperti “sepatu pelindung harus dipakai oleh semua tenaga kerja yang bekerja pada pengolahan benda-benda berat”. Apabila kemampuan perusahaan tidak dapat menjangkaunya, mungkin perusahaan menganjurkan suatu pedoman atau petunjuk kepada tenaga kerja, namun bila perusahaan sudah mampu, anjuran tersebut dirubah menjadi suatu ketentuan yang harus ditaati dan disertai pengadaan segala sesuatu yang perlu.

Petunjuk atau pedoman tidak boleh sebagai alat buat pengusaha untuk melepaskan kewajiban dan tanggung jawabnya dalam keselamatan. Misalnya kaca mata dinyatakan tidak perlu dipakai, padahal sebenarnya pekerjaan itu men syaratkannya.


2.3.8.      Disiplin
Pengusaha ataupun buruh memiliki fungsi dan tanggung jawab dalam keselamatan kerja. Pengusaha lebih memikul tanggung jawab mengenai lingkungan, cara dan pengadaan mesin serta peralatan. Buruh harus mematuhi ketentuan-ketentuan yang telah ditentukan dalam keselamatan. Jika buruh tidak memakai alat pelindung ketika melakukan sesuatu pekerjaannya, karena ia berpikir hal itu tidak perlu, kenyataan ini merupakan suatu petunjuk bahwa kepatuhan buruh terhadap peraturan kurang. Kalau sikap buruh dapat membahayakan dirinya sendiri dan temen sepekerjaannya, maka perlu tindakan-tindakan untuk penegakan disiplin, mungkin juga dalam hal ini perlunya peringatan. Namun begitu tentu saja cara ini bukan yang paling memuaskan.

Mungkin dibalik ketidaktaatan terdapat masalah-maslah ketidak sesuaian perlengkapan atau cara-cara mengenai keselamatan kerja. Dalam hal ini, tentu saja masalahnya bukan soal disiplin dan bukan kesalahan tenaga kerja. Penelitian dan pengujian lebih lanjut perlu diadakan.


2.4.       Peraturan Perundang-Undangan Dalam Keselamatan Kerja
Dalam undang-undang no. 14 tahun 1969 tentang ketentuan-ketentuan pook mengenai tenaga kerja secara jelas ditegaskan, bahwa tiap tenaga kerja berhak mendapat perlindungan atas keselamatannya (Pasal 9) dan Pemerintah membina norma-norma keselamatan kerja (Pasal 10 ayat a). Sedangkan dalam hubungan jaminan dan bantuan sosial, secara umum dinyatakan dalam undang-undang no. 14 tahun 1969 tersebut bahwa Pemerintah mengatur penyelenggaraan pertanggungan sosial dan bantuan sosial bagi tenaga kerja dan keluarganya. Pertanggungan dan bantuan sosial ini meliputi juga kecelakaan dan penyakit akibat kerja, sekalipun dalam penjelasan undang-undang dimaksud hanya diperinci antara lain sakit, meninggal dunia dan cacat.

Melihat sasarannya, terdapat dua kelompok perundang-undangan dalam keselamatan kerja, yaitu sebagai berikut:
1.   Kelompok perundang-undangan yang bersasaran pencegahan kecelakaan akibat kerja. Kelompok ini terdiri dari undang-undang nomor 1 tahun 1970 tentang keselamatan kerja dan peraturan-peraturan lain yang diturnkan atau dapat dikaitkan dengannya. Selain itu keselamatan kerja dan pencegahan kecelakaan terdapat dalam undang-undang lain, seperti undang-undang kerja (1948-1951).
2.      Kelompok perundang-undangan yang bersasaran pemberian kompensasi terhadap kecelakaan yang sudah terjadi. Kelompok ini terdiri dari undang-undang kecelakaan (1947-1957) dan peraturan-peraturan yang diturunkannya.


2.4.1.      Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja
Undang-undang nomor 1 tahun 1970 tentang keselamatan kerja diundangkan pada tahun 1970 dan mengganti Veiligheids Reglement Stbl no 406 yang berlaku sejak tahun 1910. VR yang berlaku mulai 1910 dan semenjak itu mengalami perubahan mengenai soal-soal yang tidak terlalu berat, ternyata dalam banyak hal sudah terbelakang dan perlu diperbaiki sesuai dengan perkembangan peraturan perlindungan industrialisasi di Indonesia.

Pembaruan dan perluasannya adalah mengenai hal-hal sebagai berikut:
1.      Perluasan ruang lingkup.
2.      Perubahan pengawasan represif menjadi preventif.
3.      Perumusan teknis yang lebih tegas.
4.      Penyusunan tata usaha sebagaimana diperlukan pelaksanaan pengawasan.
5.      Tambahan pengaturan pembinaan keselamatan kerja bagi pimpinan perusahaan dan tenaga kerja.
6.      Tambahan pengaturan mendirikan panitia pembina keselamatan kerja dan kesehatan kerja.
7.      Tambahan pengaturan pemungutan retribusi tahunan.

Materi yang diatur oleh undang-undang keselamatan kerja meliputi bab-bab peristilahan, ruang lingkup, syarat-syarat keselamatan kerja, pengawasan, pembinaan, panitia pembina keselamatan dan kesehatan kerja, pelaporan kecelakaan, kewajiban dan hak tenaga kerja, kewajiban bila memasuki tempat kerja, kewajiban pengurus, dan ketentuan-ketentuan penutup.

Istilah-istilah yang dipakai dalam undang-undang keselamatan kerja dan pengertiannya meliputi (Pasal 1):
1.      Tempat kerja, ialah tiap ruangan atau lapangan, tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap, yang menjadi tempat tenaga kerja atau yang sering dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha dan terdapat sumber atau sumber-sumber bahaya sebagaimana diperinci dalam pasal-pasal undang-undang keselamatan kerja. Termasuk tempat kerja ialah semua ruangan, lapangan, halaman dan sekelilingnya yang merupakan bagian-bagian atau yang berhubungan dengan tempat tenaga kerja tersebut (Ayat 1).
2.      Pengurus, ialah orang yang mempunyai tugas memimpin langsung suatu tempat kerja atau bagiannya yang berdiri sendiri (Ayat 2).
3.      Pengusaha ialah:
a.       Orang atau badan hukum yang menjalankan sesuatu usaha milik sendiri dan untuk keperluan itu menggunakan tempat kerja.
b.      Orang atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan sesuatu bukan miliknya dan untuk keperluan itu mempergunakan tempat kerja.
c.       Orang atau badan hukum yang di Indonesia mewakili orang atau dadan hukum termaksud pada a dan b, jikalau yang diwakili berkedudukan di luar negeri (Ayat 3).
4.      Direktur, ialah pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja untuk melaksanakan undang-undang keselamatan kerja (Ayat 4).
5.      Pegawai pengawas, ialah pegawai teknis berkeahlian khusus dari Departemen Tenaga Kerja yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja (Ayat 5).
6.      Ahli keselamatan kerja, ialah tenaga kerja teknis berkeahlian khusus dari luar Departemen Tenaga Kerja yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja untuk mengawasi ditaatinya undang-undang keselamatan kerja (Ayat 6).

Mengenai ruang lingkupnya undang-undang keselamatan kerja menegaskan sebagai berikut (Pasal 2):
1.      Yang diatur oleh undang-undang ini ialah keselamatan kerja dalam segala tempat kerja, baik didarat, didalam tanah, dipermukaan air, didalam air, maupun diudara, yang berada didalam wilayah kekuasaan hukum Republik Indonesia (Ayat 1).
2.      Ketentuan-ketentuan dalam 1 tersebut diatas berlaku dalam tempat kerja, yang merupakan tempat-tempat:
a.       Dibuat, dicoba, dipakai atau dipergunakan mesin, pesawat, alat, perkakas, peralatan atau instalasi yang berbahaya atau dapat menimbulkan kecelakaan, kebakaran atau peledakan.
b.      Dibuat, diolah, dipakai, dipergunakan, diperdagangkan, diangkut, atau disimpan bahan atau barang yang dapat meledak, mudah terbakar, menggigit atau beracun, menimbulkan infeksi, bersuhu tinggi.
c.       Dikerjakan pembangunan, perbaikan, perawatan, pembersihan atau pembongkaran rumah, gedung, atau bangunan lainnya termasuk bangunan pengairan, saluran atau terowongan dibawah tanah dan sebagainya atau dilakukan pekerjaan persiapan.
d.      Dilakukan usaha pertanian, perkebunan, pembukaan hutan, pengerjaan hutan, pengolahan kayu atau hasil hutan lainnya, peternakan, perikanan dan lapangan kesehatan.
e.       Dilakukan usaha pertambangan dan pengolahan emas, perak , logam atau bijih logam lainnya, batu-batuan, gas, minyak atau mineral lainnya, baik dipermukaan atau didalam bumi maupun didasar perairan.
f.       Dilakukan pengangkutan barang, binatang atau manusia, baik didaratan, melalui terowongan, dipermukaan air, dalam air maupun diudara.
g.      Dikerjakan bongkar muat barang muatan dikapal, perahu, dermaga, dok, stasiun, atau gudang.
h.      Dilakukan penyelaman, pengambilan benda dan pekerjaan lain didalam air.
i.        Dilakukan pekerjaan dalam ketinggian diatas permukaan tanah atau perairan.
j.        Dilakukan pekerjaan dibawah tekanan udara atau suhu yang tinggi atau rendah.
k.      Dilakukan pekerjaan yang mengandung bahaya tertimbun tanah, kejatuhan, terkena pelantingan benda, terjatuh atau terperosok, hanyut atau terpelanting.
l.        Dilakukan pekerjaan dalam tangki, sumur, atau lubang.
m.    Terdapat atau menyebar suhu, kelembaban, debu, kotoran, api, asap, uap, gas, hembusan angin, cuaca, sinar atau radiasi, suara atau getaran.
n.      Dilakukan pembuangan atau pemusnahan sampah atau limbah.
o.      Dilakukan pemancaran, penyinaran atau penerimaan radio, radar, televisi atau telepon.
p.      Dilakukan pendidikan, pembinaan, percobaan, penyelidikan atau riset (penelitian) yang menggunakan alat teknis.
q.      Dibangkitkan, diubah, dikumpulkan, disimpan, dibagi-bagikan atau disalurkan listrik, gas, minyak atau air.
r.        Diputar film, dipertunjukkan sandiwara atau diselenggarakan rekreasi lainnya yang memakai perlatan, instalasi listrik atau mekanik (Ayat 2).
3.      Dengan peraturan perundangan dapat ditunjuk sebagai tempat kerja, ruangan atau lapangan lainnya yang dapat membahayakan keselamatan yang bekerja dan atau yang berada diruangan atau lapangan itu dan dapat diubah perincian tersebut dalam ayat 2.
Syarat-syarat keselamatan kerja diatur dalam pasal 3 dan 4 undang-undang keselamatan kerja yang berbunyi sebagai berikut:
1.      Dengan peraturan perundangan ditetapkan syarat-syarat keselamatan kerja untuk:
a.       Mencegah dan mengurangi kecelakaan.
b.      Mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran.
c.       Mencegah dan mengurangi peledakan.
d.      Memberi kesempatan atau jalan menelamatkan diri pada waktu kebakaran atau kejadian-kejadian lain yang berbahaya.
e.       Memberi pertolongan pada kecelakaan.
f.       Memberi alat-alat perlindungan diri pada para pekerja.
g.      Mencegah dan mengendalikan timbul dan menyebar luasnya suhu, kelembaban, debu, kotoran, asap, uap, gas, hembusan angin, cuaca, sinar dan radiasi, suara dan getaran.
h.      Mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja baik fisik maupun psikis, keracunan, infeksi dan penularan.
i.        Memperoleh penerangan yang cukup dan sesuai.
j.        Mengatur suhu dan lembab udara yang baik.
k.      Mengatur penyegaran udara yang cukup.
l.        Memelihara kesehatan dan ketertiban.
m.    Memperoleh keserasian antara tenaga kerja, alat kerja, lingkungan, cara dan proses kerjanya.
n.      Mengamankan dan memperlancar pengangkutan orang, binatang, tanaman atau barang.
o.      Mengamankan dan memelihara segala jenis bangunan.
p.      Mengamankan dan memperlancar pekerjaan bongkar muat, perlakuan dan penyimpanan barang.
q.      Mencegah terkena aliran listrik yang berbahaya.
r.        Menyesuaikan dan menyempurnakan pengamanan pada pekerjaan yang bahaya kecelakaannya menjadi bertambah tinggi (Pasal 3 ayat 1).
2.      Dengan peraturan perundangan dapat diubah perincian seperti dalam pasal 3 ayat 1 sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknik dan teknologi serta pendapatan-pendapatan baru di kemudian hari (Pasal 3 ayat 2).
3.      Dengan peraturan perundangan ditetapkan syarat-syarat keselamatan kerja dalam perencanaan, pembuatan, pengangkutan, peredaran, perdagangan, pemasangan, pemakaian, penggunaan, pemeliharaan dan penyimpanan bahan, barang, produk teknis dan aparat produksi yang mengandung dan dapat menimbulkan bahaya kecelakaan (Pasal 4 ayat 1).
4.      Syarat-syarat tersebut memuat prinsip-prinsip teknis ilmiah menjadi suatu kumpulan ketentuan yang disusun secara teratur, jelas dan praktis yang mencakup bidang konstruksi, bahan, pengolahan dan pembuatan perlengkapan alat-alat perlindungan, pengujian dan pengesahan, pengepakan atau pembungkusan, pemebrian tanda-tanda pengenal atas bahan, barang, produk teknis dan aparat produksi guna menjamin keselamatan barang-barang itu sendiri, keselamatan tenaga kerja yang melakukannya dan keselamatan umum (Pasal 4 ayat 2).
5.      Dengan peraturan perundangan dapat dirubah perincian seperti dalam pasal 4 ayat 1 dan 2 dan dengan peraturan perundangan ditetapkan siapa yang berkewajiban memenuhi dan mentaati syarat-syarat keselamatan tersebut.

Pengawasan undang-undang keselamatan kerja diatur dalam pasal 5, 6, 7 dan 8 sebagai berikut:
1.      Direktur melakukan pelaksanaan umum terhadap undang-undang ini, sedangkan para pegawai pengawas dan ahli keselamatan kerja ditugaskan menjalankan pengawasan langsung terhadap ditaatinya undang-undang dan membantu pelaksanaannya.
2.      Wewenang dan kewajiban Direktur, pegawai pengawas dan ahli keselamatan kerja dalam melaksanakan undang-undang diatur dengan peraturan perundangan (Pasal 5 ayat 2).
3.      Barang siapa tidak dapat menerima keputusan Direktur dapat mengajukan permohonan banding kepada Panitia Banding (Pasal 6 ayat 1).
4.      Tata cara permohonan banding, susunan Panitia Banding, tugas Panitia Banding dan lain-lain ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja (Pasal 6 ayat 2).
5.      Keputusan panitia banding tidak dapat dibanding lagi (Pasal 6 ayat 3).
6.      Untuk pengawasan berdasarkan undang-undang ini pengusaha harus membayar retribusi menurut ketentuan-ketentuan yang akan diatur dengan peraturan perundangan (Pasal 7).
7.      Pengurus diwajibkan memeriksakan kesehatan badan, kondisi mental dan kemampuan fisik dari tenaga kerja yang akan diterimanya maupun akan dipindahkan sesuai dengan sifat-sifat pekerjaan yang diberikan padanya (Pasal 8 ayat 1).
8.      Pengurus diwajibkan memeriksa semua tenaga kerja yang berada di bawah pimpinannya, secara berkala pada dokter yang ditunjuk oleh pengusaha dan dibenarkan oleh Direktur (Pasal 8 ayat 2).
9.      Norma-norma mengenai pengujian kesehatan ditetapkan dengan peraturan perundangan (Pasal 8 ayat 3).

Mengenai pembinaan, diatur oleh undang-undang no 1 tahun 1970 hal-hal sebagai berikut:
1.      Pengurus diwajibkan menunjukkan dan menjelaskan pada tiap tenaga kerja baru tentang:
a.       Kondisi dan bahaya serta yang timbul dalam tempat kerja.
b.      Semua pengamanan dan alat-alat perlindungan yang diharuskan dalam tempat kerjanya.
c.       Alat-alat perlindungan diri bagi tenaga kerja yang bersangkutan.
d.      Cara dan sikap yang aman dalam melaksanakan pekerjaannya.
2.      Pengurus hanya dapat mempekerjakan tenaga kerja yang bersangkutan setelah ia yakin bahwa tenaga kerja tersebut telah memahami syarat-syarat tersebut.
3.      Pengurus diwajibkan menyelenggarakan pembinaan bagi semua tenaga kerja yang berada di bawah pimpinannya, dalam pencegahan kecelakaan dan pemberantasan kebakaran serta peningkatan keselamatan dan kesehatan kerja dalam pemberian pertolongan pertama pada kecelakaan.
4.      Petugas diwajibkan memenuhi dan mentaati semua syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi usaha dan tempat kerja yang dijalankannya (Pasal 9).

Pasal 10 undang-undang keselamatan kerja mengatur panitia keselamatan dan kesehatan kerja:
1.      Menteri Tenaga Kerja berwenang membentuk panitia pembinaan keselamatan dan kesehatan kerja guna memperkembangkan kerja sama, saling pengertian dan partisipasi efektif dari pengusaha atau pengurus dan tenaga kerja dalam tempat kerja untuk melaksanakan tugas dan kewajiban bersama di bidang keselamatan dan kesehatan kerja dalam rangka melancarkan usaha berproduksi (Pasal 10 ayat 1).
2.      Susunan panitia pembina keselamatan dan kesehatan kerja, tugas dan lain-lain ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja (Pasal 10 ayat 2).

Menurut undang-undang keselamatan kerja, kecelakaan yang terjadi harus dilaporkan dengan mengikuti ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1.      Pengurus diwajibkan melaporkan setiap kecelakaan yang terjadi dalam tempat kerja yang dipimpinnya, pada pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja (pasal 11 ayat 1).
2.      Tata cara pelaporan dan pemeriksaan kecelakaan oleh pegawai termaksud dalam ayat 1 diatur dengan peraturan perundangan.

Dengan peraturan perundangan diatur kewajiban dan atau hak tenaga kerja untuk (pasal 12):
1.      Memberikan keterangan yang benar bila diminta oleh pegawai pengawas dan atau ahli keselamatan kerja.
2.      Memakai alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan.
3.      Memenuhi dan mentaati semua syarat-syarat keselamatan dan kesehatan kerja yang diwajibkan.
4.      Meminta pada pengurus agar dilaksanakan semua syarat keselamatan dan kesehatan kerja yang diwajibkan.
5.      Menyatakan keberatan bekerja pada pekerjaan yang syarat keselamatan dan kesehatan kerja serta alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan diragukan olehnya kecuali dalam hal-hal khusus ditentukan lain oleh pegawai pengawas dalam batas-batas yang masih dapat dipertanggung jawabkan.

Adapun kewajiban pengurus diatur dalam pasal 14 yang menyatakan bahwa pengurus diwajibkan:
1.      Secara tertulis menempatkan dalam tempat kerja yang dipimpinnya semua syarat keselamatan kerja yang diwajibkan dan semua peraturan pelaksanaannya yang berlaku bagi tempat kerja yang bersangkutan pada tempat-tempat yang mudah dilihat dan terbaca dan menurut petunjuk pegawai pengawas atau ahli keselamatan kerja.
2.      Memasang dalam tempat kerja yang dipimpinnya, semua gambar keselamatan kerja yang diwajibkan dan semua bahan pembinaan lainnya, pada tempat yang mudah dilihat dan terbaca menurut petunjuk pegawai petugas atau ahli keselamatan kerja.
3.      Menyediakan secara cuma-cuma semua alat perlindungan diri yang diwajibkan pada tenaga kerja yang berada di bawah pimpinannya dan menyediakan bagi setiap orang lain yang memasuki tempat kerja tersebut, disertai dengan petunjuk-petunjuk yang diberikan menurut pegawai pengawas atau ahli keselamatan kerja. 

Sebagaimana ketentuan-ketentuan penutup undang-undang keselamatan kerja, terdapat pengaturan-pengaturan mengenai ancaman hukuman, tempat-tempat kerja yang telah ada, peraturan peralatan dan sebagainya. Pengaturan-pengaturan itu adalah sebagai berikut:
1.      Pelaksanaan ketentuan tersebut pada pasal-pasal diatas diatur lebih lanjut dengan peraturan perundangan (pasal 15, ayat 1).
2.      Peraturan perundangan tersebut pada pasal 15 ayat 1 dapat memberikan ancaman pidana atas pelanggaran peraturannya dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3(tiga) bulan atau denda sebesar-besarnya Rp. 100.000 (seratus ribu rupiah) (pasal 15, ayat 2).
3.      Tindak pidana tersebut adalah pelanggaran (pasal 15, ayat 3).
4.      Pengusaha yang mempergunakan tempat-tempat kerja yang sudah ada pada waktu undang-undang ini mulai berlaku wajib mengusahakan didalam satu tahun sesudah undang-undang ini mulai berlaku, untuk memenuhi ketentuan-ketentuan menurut atau berdasarkan undang-undang ini (pasal 16).
5.      Selama peraturan perundangan untuk melaksanakan ketentuan dalam undang-undang ini  belum dikeluarkan, maka peraturan dalam bidang keselamatan kerja yang ada pada waktu undang-undang ini mulai berlaku, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini (pasal 17).


2.4.2.                           Peraturan Undang-Undang  Yang Lainnya
Selain undang-undang tentang kecelakaan, terdapat juga beberapa peraturan-peraturan pemerintah lainnya, diantaranya sebagai berikut:
1.      Peraturan Menteri Perburuhan (PMP) No.7 tahun 1964 tentang syarat kesehatan kebersihan serta penerangan dalam tempat kerja.
Peraturan ini mengatur tentang: tempat kerja, bangunan perusahaan, halaman, jalanan, saluran dan sampah, kakus WC, tempat mandi, dapur, ruang makan, peralatan makan dan air minum, pemeriksaan kesehatan tenaga kerja, ruang udara (cubic space), ruang gerak, ventilasi serta penerangan tempat kerja.
2.      Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Per.01/Men/1981 tentang kewajiban melaporkan penyakit akibat kerja. Sedangkan pelaksanaannya diatur dalam Keputusan menteri Tenaga Kerja No.KEPTS/333/MEN/1989.
Jenis-jenis penyakit akibat kerja yang harus dilaporkan, antara lain:
a)      Pneumokonioses yang disebabkan oleh debu mineral.
b)      Penyakit-penyakit paru dan saluran pernapasan (bronkhopulmoner) yang disebabkan oleh debu logam keras.
c)      Asma akibat kerja.
d)     Golongan penyakit-penyakit yang disebabkan oleh berbagai bahan kimia atau persenyawaan yang beracun.
e)      Penyakit-penyakit yang disebabkan oleh gas atau uap penyebab asfiksian.
f)       Kelainan pendengaran yang disebabkan oleh kebisingan.
g)      Penyakit-penyakit yang disebabkan  oleh getaran mekanik.
h)      Penyakit-penyakit yang disebabkan oleh udara yang bertekanan lebih dan disebabkan oleh radiasi.
i)        Penyakit-penyakit kulit yang disebabkan oleh penyebab-penyebab fisik, kimiawi atau biologis lainnya.
j)        Kanker kulit dan paru yang disebabkan oleh bahan kimia.
k)      Penyakit-penyakit infeksi dan parasit dalam melakukan pekerjaan.
3.  Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.03/Men/1982, tentang pelaanan kesehatan kerja, sedangkan pelaksanaanya diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Bina Hubungan Ketenagakerjaan dan Pengawasan Norma Kerja No.Kep.157/M/BW/1989.
Pelayanan kesehatan kerja mempunyai tugas dan fungsi yang khas, tidak sekedar kegiatan poliklinik berlaku. Pelayanan kesehatan kerja meliputi:
a)      Pemeriksaan kesehatan sebelum kerja, berkala dan khusus.
b)      Pembinaan dan pengawasan penyesuaian pekerjaan terhadap lingkungan kerja, atas perlengkapan senitair dan kesehatan tenaga kerja.
c)      Pencegahan dan pengobatan atas penyakit umum dan penyakit akibat kerja.
d)     Pertolongan pertama pada kecelakaan (PPPK).
e)      Pendidikan kesehatan bagi tenaga kerja dan latihan bagi petugas PPPK.
f)       Memberikan nasehat dalam perencanaan dan pembuatan tempat kerja, pemilihan alat pelindung diri yang sesuai, pembinaan gizi kerja dan penyelenggaraan kantin ditempat kerja.
g)      Membantu usaha rehabilitasi akibat kecelakaan atau penyakit akibat kerja.
h)      Pembinaan dan pengawasan terhadap tenaga kerja yang mempunyai kelainan tertentu dalam kesehatannya.
4.      Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI No.Kop.612/Men/1989, tentang penyediaan data bahan berbahaya terhadap keselamatan dan kesehatan kerja.
Dalam keputusan ini tercantum ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
a)      Kewajiban bagi perusahaan atau industri yang menggunakan, menyediakan, memakai, memproduksi, mengangkut dan mengedarkan bahan berbahaya dalam mengisi dan menyediakan data bahan berbahaya yang mencangkup data tentang pengaruh terhadap kesehatan dan keselamatan tenaga kerja serta petunjuk penanggulangannya.
b)      Penunjukan pejabat yang bertanggung jawab dalam penanganan bahan berbahaya dan penanggulangan bahaya yang mungkin terjadi akibat adanya bahan berbahaya tersebut.
5.      keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. Kep.13/MENLH/3/1995, tentang baku mutu emisi sumber tidak bergerak.
Dalam keputusan ini yang dimaksud dengan:
a)      Baku mutu emisi sumber tidak bergerak adalah batas maksimum emisi yang diperbolehkan dimasukan didalam lingkungan.
b)      Emisi adalah mahluk hidup, zat, energi dan komponen lain yang dihasilkan dari kegiatan yang masuk atau dimasukan keudara ambien.
c)      Batas maksimum adalah kadar tertinggi yang masih diperbolehkan dibuang keudara ambien. Standar emisi yang diperkenankan tercantum dalam keputusan ini.
6.      Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. Kep.49/MENLH/11/1996, tentang baku tingkat getaran.
Dalam keputusan ini yang dimaksud dengan:
a)      Getaran adalah gerakan bolak balik suatu masa melalui keadaan seimbang terhadap suatu titik acuan.
b)      Getaran mekanik adalah getaran yang ditimbulkan oleh sarana dan peralatan kegiatan manusia.
c)      Getaran sismik adalah getaran tanah yang disebabkan oleh peristiwa alam dan kegiatan manusia.
d)     Getaran kejut adalah getaran yang berlangsung secara tiba-tiba dan sesaat.
e)      Baku tingkat getaran mekanik dan getaran kejut adalah batas maksimal.
f)       Tingkat getaran mekanik yang diperbbolehkan dari usaha atau kegiatan pada media padat sehingga tidak menimbulkan gangguan terhadap kenyamanan dan kesehtan serta keutuhan bangunan.
7.      Peraturan Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan  Koperasi No. Per.01/men/1976, tentang kewajiban latihan hiperkes bagi dokter perusahaan.
Dokter perusahaan ialah setiap dokter yang ditunjuk atau bekerja diperusahaan yang bertugas dan bertanggung jawab atas higiene perusahaan, kesehatan dan keselamatan kerja. Setiap perusahaan yang memperkejakan dokter wajib mengirimkan dokter perusahaannya untuk mendapat pelatihan dalam bidang hiperkes dan keselamatan kerja.
8.      Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Per.01/Men/1979, tentang kewajiban latihan higiene perusahaan, kesehatan dan keselamatan kerja bagi tenaga paramedis perusahaan.
Tenaga yang ditunjuk atau ditugaskan untuk melaksanakan atau membantu penyelenggaraan tugas-tugas higiene perusahaan, kesehatan dan keselamatan kerja diperusahaan atas petunjuk dan bimbingan dokter perusahaan wajib mendapat latian dalam bidang hiperkes dan keselamatan kerja.


2.5.  Skor Resiko (Risk Score)
Kecelakaan dilingkungan kerja sangat beragam dan jumlahnya banyak, karena anggaran yang dikeluarkan oleh pihak manajemen industri terbatas, maka perlu dilakukan pemilihan terhadap kondisi bahaya yang ada agar kondisi dengan keseriusan terbesar menjadi prioritas penanganan. Dengan adanya kebutuhan memilih prioritas bahaya tersebut, digunakan alat untuk menentukan besar skor resiko bahaya dari tiap kecelakaan.

Adapun yang menjadi tujuan perhitungan skor resiko, yaitu:
a.       Mengetahui apakah pencegahan kecelakaan harus disempurnakan.
b.      Menentukan pengalaman kecelakaan dari suatu perusahaan.
c.       Menentukan apakah pengalaman kecelakaan tersebut menjadi lebih baik atau lebih buruk dengan berjalannya waktu.
d.      Membedakan pengalaman dari suatu unit operasi dengan yang lainnya.
e.       Menjadikan dasar perbandingan antar unit dalam pencegahan kecelakaan.



Menurut Luki Mantera Dwi Putra Romly yang dikutip dari (William T. Fine, 1980), ada dua metode dalam pengontrolan bahaya, yaitu:
1.      Metode untuk perhitungan resiko, untuk menentukan keseriusan suatu kondisi bahaya sehingga dapat membantu pengambilan keputusan akan suatu tindakan pencegahan (preventif).
2.      Metode untuk menentukan apakah perkiraan biaya dialokasikan untuk suatu tindakan perbaikan guna meringankan suatu kondisi bahaya telah efektif dan efesien (justified).

Untuk memenuhi hal tersebut, Fine membuat suatu persamaan untuk menghitung besarnya skor resiko dari tiap kecelakaan dan persamaan untuk menghitung justifikasi tindakan perbaikan.

Dalam suatu industri yang banyak menggunakan mesin berat sering terjadi kecelakaan yang disebabkan oleh kondisi bahaya yang ada. Karena keterbatasan waktu, fasilitas pemeliharaan dan kondisi bahaya tersebut tidak dapat diminimalisasi sekaligus secara serentak. Untuk itu dicari besar skor resiko masing-masing kecelakaan yang kemudian diurutkan dan ditentukan prioritas yang harus ditangani terlebih dahulu. Tanpa menghitung skor resiko maka ada kemungkinan terjadinya prioritas perbaikan terhadap kondisi bahaya yang kurang tinggi angka resikonya dibandingkan dengan kondisi bahaya lain yang ternyata lebih parah dan butuh penanganan segera.

Persamaan skor resiko menurut (Fine, 1980) adalah sebagai berikut:
RS (Risk Score) = E x C x P………………………………………(2.1)
Injury Frequency Rate (E) = ...... (2.2)
Injury Severity Rate (C) = .................(2.3)
Probability (P) = ............................................(2.4)


Dimana:
RS = Skor Resiko/risk score
C = Consequence of the particular accident (Konsekuensi yang mungkin terjadi akibat bahaya) lebih dikenal sebagai Injury Severity Rate.
E = Frequency of exposure to the same direct cause (Frekuensi paparan terhadap penyebab langsung yang sama) / Injury Frequency Rate.
P = Probability that similar accident will occur resultings in the same cause and heaving the same etiology, in the accident consideration.

Number of disabling injury = ( Jumlah kecelakaan/kerugian dari luka-luka)
Number of day lost = (Jumlah hari yang hilang)
Total number of man hour worked = (Jumlah total karyawan x Jumlah hari/tahun x Jam kerja/hari)
Days = ( Jumlah hari/tahun)

Perhitungan Risk Score ini dapat pula digunakan untuk memperkirakan resiko kecelakaan yang belum terjadi. Pada prinsipnya persamaan yang dipakai sama dengan yang sudah dijelaskan, namun dengan menggunakan nilai C (consequence), E (exposure) dan P (probability). Berikut contoh perhitungan resiko untuk kecelakaan yang belum terjadi dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 2.1. Nilai consequences
Tingkat keparahan
Rating
a
Bencana alam atau malapetaka banyak kecelakaan fatal (yang mengakibatkan cacat atau meninggal), kerusakan yang luas (lebih dari $1.000.000)
100
b
Beberapa kecelakaan fatal, kerusakan ($500.000-$1.000.000)
50
c
Kecelakaan fatal, kerusakan ($100.000-$500.000)
25
d
Cedera sangat serius (cacat permanen, meninggal), kerusakan ($1000-$100.000)
15
e
Cedera yang menyebabkan cacat, kerusakan sampai $1000
5
f
Luka minor, memar, benjolan, kerusakan minor
1


Tabel 2.2. Nilai exposure
Tingkat keparahan
Rating
a
Terus menerus (sering dalam sehari)
10
b
Sering (sekitar sekali sehari)
6
c
Sekali-kali (sekali seminggu atau sekali sebulan)
3
d
Biasa (sekali sebulan sampai dengan sekali setahun)
2
e
Jarang (pernah terjadi)
1
f
Sangat jarang (belum pernah terjadi tapi ada kemungkinan terjadi)
0,5


Tabel 2.3. Nilai probability
Tingkat keparahan
Rating
a
Sangat memungkinkan terjadi bila ada kejadian bahaya
10
b
Cukup memungkinkan terjadi (peluang kejadian 50:50)
6
c
Tidak bisa terjadi, kebetulan
3
d
Merupakan kejadian yang peluangnya kecil, diketahui pernah terjadi
1
e
Sangat kecil kemungkinannya, tapi dipahami akan mungkin terjadi (tidak pernah terjadi setelah bertahun-tahun pemaparan)
0,5
f
Secara praktek tidak mungkin terjadi, merupakan kebetulan (peluang kejadian sangat kecil, tidak pernah terjadi sebelumnya)
0,1







Hasil berupa angka skor resiko yang diperoleh diurutkan dan dimasukan dalam 3 zona resiko. Batas zona resiko adalah sebagai berikut:
a.       Zona resiko tinggi (high risk zone), dimana tiap kejadian dengan skor resiko dalam zona ini butuh penanganan segera dan kegiatan harus dihentikan sampai perbaikan tersebut membuat skor resiko menurun.
b.      Zona resiko menengah (medium risk zone), dimana tiap kejadian dengan skor resiko dalam zona ini butuh penanganan segera, namun tidak perlu menghentikan kegiatan.
c.       Zona resiko rendah (lower risk zone), dimana kejadian dengan skor resiko dalam zona ini tidak dinyatakan sebagai kondisis emergency, namun butuh penanganan yang tidak boleh tertunda terlalu lama.


2.6.Prosedur Audit Kecelakaan Kerja
Dengan dilakukannya tindakan perbaikan dan pencegahan, organisasi harus menyiapkan segala kondisi yang diperlukan apabila terjadi ketidak sesuaian yang mencakup kecelakaan, insiden termasuk potensi-potensinya. Segala tindakan yang dilakukan harus diatur dalam prosedur, tujuan prosedur adalah untuk mencegah terulangnya kembali kejadian yang sama dimasa mendatang, walaupun dalam kenyataannya kecelakaan selalu ada. Yang menjadi masukan dalam prosedur ini, yaitu prosedur-prosedur yang mencakup laporan kecelakaan, insiden atau bahaya serta laporan pemeliharaan.

Adapun yang menjadi tahapan audit dalam upaya melaksanakan perbaikan dari kecelakaan kerja yang terjadi ini terdapat pada empat fase dasar, diantaranya yaitu seperti pada gambar berikut ini.

Gambar 2.1. Fase dasar tahapan audit



1.      Perencanaan
Pada tahap audit perencanaan ini dilakukan langkah-langkah dalam perencanaan, yaitu:
v  Tipe audit apa yang akan dilakukan.
v  Mengumpulkan informasi awal.
v  Siapa yang melakukan audit.
v  Menyusun check list.
v  Memeriksa hasil audit sebelumnya.
v  Berbicara/berkoordinasi kepada departemen yang akan diaudit.
v  Mempersiapkan rencana audit.
2.      Pelaksanaan audit
Pada pelaksanaan audit ini, audit dilakukan dengan menggunakan check list yang dapat berguna sebagai berikut, yaitu:
v  Sebagai alat audit.
v  Dibuat berdasarkan standar safety yang dikenal.
v  Disusun disekitar operasi departemen berdasarkan standar dan prosedur perusahaan.
v  Alat untuk mengingat (aide memory).
v  Penyedia kelangsungan (prosedure of continuity).
v  Catatan tentang cakupan audit (audit coverage).


3.      Analisis hasil audit
Berikut ini terdapat kegunaan dari langkah-langkah analisis hasil-hasil audit, diantaranya yaitu:
v  Menilai tingkat kesesuaian (degree at complaince) terhadap prosedur/kondisi standar.
v  Pengkategorian ketidaksesuaian (deficiencies) dengan tingkat keseriusan (severity).
4.      Laporan tindakan koreksi (corective action)
Semua hasil audit yang dilaporkan sebagai ketidaksesuaian (deficiencies) harus direkomendasikan lengkap dengan lampiran bukti untuk kemudian dipakai sebagai langkah penyelesaian melalui form verifikasi corrective action.

Berikut adalah contoh prosedur pembinaan dalam hal audit di perusahaan seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 2.2. Contoh prosedur audit/pembinaan di perusahaan
Setelah melakukan audit, auditor harus membuat laporan temuan. Laporan temuan ini harus jelas dan dapat ditelusuri. Laporan audit diberi tanggal dan ditandatangani oleh auditor. Laporan semua audit sebaiknya memiliki item-item sebagai berikut:
·         Sasaran dan lingkup audit.
·         Anggota tim auditor dan perwakilan auditee dan subjek yang diaudit.
·         Dokumen referensi.
·         Ketidaksesuaian yang ditemukan.
·         Penilaian auditor terhadap temuan tersebut dan derajat kesesuaiannya.
·         Distribusi laporan audit. Laporan audit harus ditindak lanjuti segera dan diperbaiki sesuai dengan tingkat temuan yang ada, monitoring tindak lanjut audit merupakan hal yang sangat penting.


2.7.Analisis Regresi Linear Sederhana
Regresi linear sederhana merupakan bagian regresi yang mencakup hubungan linear satu variabel tak bebas dengan satu variabel bebas. Berdasarkan pengetahuan masa lalu, untuk analisis regresi akan dibedakan dua jenis variabel, yaitu untuk keperluan penentuan variabel bebas dinyatakan dengan (Xi) sedangkan variabel tak bebas akan dinyatakan dengan (Yi). Dalam metode regresi linear pola hubungan antara suatu variabel yang mempengaruhinya dapat dinyatakan dengan suatu garis lurus.

Persamaan regresi linear dapat dinyatakan sebagai berikut:
Y = a + bx.......................................................      (2.5)







Dari rumus diatas diperoleh persamaan rumus untuk nilai a dan b, diantaranya sebagai berikut:
a = .............................         (2.6)
b = .......................................          (2.7)

Dimana:
Y= Besarnya nilai/variabel tidak bebas
a = Nilai trend pada periode dasar
b = Tingkat perkembangan nilai
X= Unit tahun yang dihitung dari periode dasar/variabel bebas