2.1. Pengertian Keselamatan Kerja
Keselamatan
kerja adalah keselamatan yang bertalian
dengan mesin, pesawat, alat kerja, bahan dan proses pengolahannya, landasan
tempat kerja dan lingkungannya serta cara-cara melakukan pekerjaan. Keselamatan
kerja bersasaran segala tempat kerja, baik didarat, didalam tanah, dipermukaan
air, didalam air, maupun diudara. Tempat-tempat demikian tersebar pada segenap
kegiatan ekonomi, seperti pertanian, industri, pertambangan, perhubungan,
pekerjaan umum, jasa dan lain-lain. Salah satu aspek penting sasaran
keselamatan kerja mengingat resiko bahanya adalah penerapan teknologi, terutama
teknologi yang lebih maju dan mutakhir.
Keselamatan kerja adalah tugas semua orang yang bekerja. Keselamatan kerja
adalah dari, oleh, untuk setiap tenaga kerja serta orang lainnya dan juga
masyarakat pada umumnya.
Adapun
yang menjadi tujuan keselamatan kerja adalah sebagai berikut:
1.
Melindungi tenaga kerja atas hak
keselamatannya dalam melakukan pekerjaan untuk kesejahteraan hidup dan
meningkatkan produksi serta produktivitas nasional.
2.
Menjamin keselamatan setiap orang
lain yang berada ditempat kerja.
3.
Sumber produksi dipelihara dan
dipergunakan secara aman dan efisien.
Dalam
hubungan kondisi-kondisi dan situasi di Indonesia, keselamatan kerja dinilai
seperti berikut:
1.
Keselamatan kerja adalah sarana
utama untuk pencegahan kecelakaan, cacat dan kematian sebagai akibat kecelakaan
kerja. Keselamatan kerja yang baik adalah pintu gerbang bagi keamanan tenaga
kerja, kecelakaan selain menjadi sebab hambatan-hambatan langsung juga
merupakan kerugian-kerugian secara tidak langsung, yakni kerusakan mesin dan
peralatan kerja, terhentinya proses produksi untuk beberapa saat, kerusakan
pada lingkungan kerja dan lain-lain. Biaya-biaya sebagai akibat kecelakaan
kerja, baik langsung ataupun tidak langsung, cukup bahkan kadang-kadang
terlampau besar sehingga bila diperhitungkan secara nasional hal itu merupakan
kehilangan yang berjumlah besar.
2.
Analisa kecelakaan secara nasional
berdasarkan angka-angka yang masuk atas dasar wajib lapor kecelakaan dan data
kompensasinya, dewasa ini seolah-olah relatif rendah dibandingkan dengan
banyaknya jam kerja tenaga kerja.
3.
Potensi-potensi bahaya yang
mengancam keselamatan pada berbagai sektor kegiatan ekonomi jelas dapat
diobservasi, misalnya:
a.
Sektor pertanian yang juga
meliputi perkebunan menampilkan aspek-aspek bahaya potensial seperti
modernisasi pertanian dengan penggunaan racun-racun hama dan pemakaian alay
baru seperti mekanisasi.
b.
Sektor industri disertai bahaya-bahaya
potensial seperti keracunan- keracunan bahan kimia, kecelakaan-kecelakaan oleh
mesin, kebakaran, ledakan-ledakan dan lain-lain.
c.
Sektor pertambangan mempunyai
risiko-risiko khusus sebagai akibat kecelakaan tambang, sehingga keselamatan
pertambangan perlu dikembangkan secara sendiri, minyak dan gas bumi termasuk
daerah rawan kecelakaan.
d.
Sektor perhubungan ditandai dengan
kecelakaan-kecelakaan lalu lintas darat, laut dan udara serta bahaya-bahaya
potensial pada industri pariwisata, demikian pula telekomunikasi mempunyai
kekhususan dalam risiko bahaya.
e.
Sektor jasa, walaupun biasanya
tidak rawan kecelakaan juga menghadapkan problematik bahaya kecelakaan khusus.
4.
menurut observasi, angka frekuensi
untuk kecelakaan-kecelakaan ringan yang tidak menyebabkan hilangnya hari kerja
tetapi hanya jam kerja masih terlalu tinggi. Padahal dengan hilangnya satu atau
dua jam sehari mengakibatkan kehilangan jam kerja yang besar secara
keseluruhan.
5.
Analisa kecelakaan memperlihatkan
bahwa untuk setiap kecelakaan ada faktor penyebabnya, sebab-sebab tersebut
bersumber kepada alat-alat mekanik dan lingkungan serta kepada manusianya
sendiri. Untuk mencegah kecelakaan, penyebab-penyebab ini harus dihilangkan.
6.
85% dari sebab-sebab kecelakaan
adalah faktor manusia, maka dari itu usaha-usaha keelamatan selain ditujukan
kepada teknik mekanik juga harus memperhatikan secara khusus aspek manusiawi.
Dalam hubungan ini, pendidikan dan penggairahan keselamatan kerja kepada tenaga
kerja merupakan sarana yang sangat penting.
7.
Sekalipun upaya-upaya pencegahan
telah maksimal, kecelakaan masih mungkin terjadi dan dalam hal ini adalah besar
peranan kompensasi kecelakaan sebagai suatu segi jaminan sosial untuk
meringankan bebab penderita.
2.1.1. Keselamatan Kerja dan
Perlindungan Kerja Serta Peningkatan Produksi dan Produktivitas
Perlindungan
tenaga kerja meliputi aspek-aspek yang cukup luas, yaitu perlindungan
keselamatan, kesehatan, pemeliharaan moral kerja serta perlakuan yang sesuai
dengan martabat manusia dan moral agama.
Perlindungan
tersebut bermaksud agar tenaga kerja secara aman melakukan pekerjaannya
sehari-hari untuk meningkatkan produksi dan produktivitas nasional. Tenaga
kerja harus memperoleh perlindungan dari berbagai soal disekitarnya dan pada
dirinya yang dapat menimpa dan mengganggu dirinya serta pelaksanaan
pekerjaannya,
Jelaslah,
bahwa keselamatan kerja adalah suatu segi penting dari perlindungan tenaga
kerja. Dalam hubungan ini, bahaya yang timbul dari mesin, pesawat, alat kerja,
bahan danproses pengolahannya, keadaan tempat kerja, lingkungan, cara melakukan
pekerjaan, karakteristik fisik dan mental daripada pekerjaannya, harus sejauh
mungkin diberantas dan atau dikendalikan.
Keselamatan
kerja erat bersangkutan dengan peningkatan produksi dan produktivitas.
Produktivitas adalah perbandingan diantara hasil kerja (output) dan upaya yang
digunakan (input). Keselamatan kerja dapat membantu peningkatan produksi dan
produktivitas atas dasar:
1.
Dengan tingkat
keselamatan kerja yang tinggi, kecelakaan-kecelakaan yang menjadi sebab sakit,
cacat, dan kematian dapat dikurangi atau ditekan sekecil mungkin, sehingga
pembiayaan yang tidak perlu dapat dihindari.
2.
Tingkat keselamatan
yang tinggi sejalan dengan pemeliharaan dan penggunaan peralatan kerja dan
mesin yang produktif dan efisien dan bertalian dengan tingkat produksi dan
produktivitas yang tinggi.
3.
Pada berbagai hal,
tingkat keselamatan yang tinggi menciptakan kondisi-kondisi yang mendukung
kenyamanan serta kegairahan kerja, sehingga faktor manusia dapat diserasikan
dengan tingkat efisiensi yang tinggi pula.
4.
Praktek keselamatan
tidak bisa dipisah-pisahkan dari keterampilan, keduanya berjalan sejajar dan
merupakan unsur-unsur esensial bagi kelangsungan proses produksi.
5.
Keselamatan kerja yang
dilaksanakan sebaik-baiknya dengan partisipasi pengusaha dan buruh akan membawa
iklim keamanan dan ketenangan kerja, sehingga sangat membantu bagi hubungan
buruh dan pengusaha yang merupakan landasan kuat bagi terciptanya kelancaran
produksi.
2.1.2.
Kecelakaan
Akibat Kerja dan Pencegahannya
Kecelakaan
adalah kejadian yang tak terduga dan tidak diharapkan. Tak terduga, oleh karena
dibelakang peristiwa itu tidak terdapat unsur kesengajaan, lebih-lebih dalam
bentuk perencanaan. Maka dari itu peristiwa sabotase atau tindakan kriminil
diluar lingkup kecelakaan yang sebenarnya. Tidak diharapkan, oleh karena
peristiwa kecelakaan disertai kerugian material ataupun penderiataan dari yang
paling ringan sampai kepada yang paling berat.
Kecelakaan
akibat kerja adalah kecelakaan berhubung dengan hubungan kerja pada perusahaan.
Hubungan kerja disini dapat berarti, bahwa kecelakaan terjadi dikarenakan oleh
pekerjaan atau pada waktu melaksanakan pekerjaaan. Maka dalam hal ini, terdapat
dua permasalahan penting, yaitu:
1.
Kecelakaan adalah
akibat langsung pekerjaan.
2.
Kecelakaan terjadi pada
saat pekerjaan sedang dilakukan.
Kadang-kadang
kecelakaan akibat kerja diperluas ruang lingkupnya, sehingga meliputi juga
kecelakaan-kecelakaan tenaga kerja yang terjadi pada saat perjalanan ke atau
dari tempat kerja. Kecelakaan-kecelakaan dirumah atau waktu rekreasi atau cuti,
dan lain-lain adalah diluar makna kecelakaan
akibat kerja, sekalipun pencegahannya sering dimasukkan program keselamatan
perusahaan. Kecelakaan-kecelakaan demikian termasuk kepada kecelakaan umum
hanya saja menimpa tenaga kerja diluar pekerjaannya.
Terdapat
tiga kelompok kecelakaan, diantaranya yaitu:
1.
Kecelakaan akibat kerja
diperusahaan
2.
Kecelakaan lalu lintas
3.
Kecelakaan dirumah
Bahaya
pekerjaan adalah faktor-faktor dalam hubungan pekerjaan yang dapat mendatangkan
kecelakaan. Bahaya tersebut disebut potensial, jika faktor-faktor tersebut
belum mendatangkan kecelakaan. Jika kecelakaan telah terjadi, maka bahaya
tersebut sebagai bahaya nyata. Pencegahan kecelakaan berdasarkan pengetahuan
tentang sebab-sebab kecelakaan. Sebab-sebab kecelakaan disuatu perusahaan
diketahui dengan mengadakan analisa kecelakaan. Maka dari itu sebab-sebab dan
cara analisa harus betul-betul diketahui.
Pencegahan
ditujukan kepada lingkungan, mesin-mesin, alat-alat kerja dan manusia.
Lingkungan kerja harus memenuhi syarat-syarat lingkungan kerja yang baik,
pemeliharaan rumah tangga yang baik, keadaan gedung yang selamat dan
perencanaan yang baik. Syarat-syarat lingkungan kerja meliputi ventilasi,
penerangan cahaya, sanitasi dan suhu udara. Pemeliharan rumah tangga perusahaan
meliputi penimbunan, pengaturan mesin, bejana-bejana dan lain-lain. Gedung
harus memiliki alat pemadam kebakaran, pintu keluar darurat, lubang ventilasi,
dan lantai yang baik. Perencanaan yang baik terlihat dari pengaturan operasi, pengaturan
tempat mesin, proses yang selamat, cukup alat-alat, dan cukup pedoman-pedoman
pelaksanaan dan aturan-aturan. Mesin-mesin, alat-alat dan perkakas kerja harus
memenuhi perencanaan yang baik, cukup dilengkapi alat-alat pelindung, dan
lain-lain. Perencanaan yang baik terlihat dari baiknya pelindung pada
bagian-bagian mesin atau perkakas-perkakas yang bergerak, antara lain berputar.
Bila ada pengaman tersebut, harus diketahui efektif tidaknya, atau terlihat
pula dari potongan, bentuk dan ukurannya, alat-alat atau perkakas kerja.
Kurangnya perawatan sering mengakibatkan bencana besar seperti peledakan mesin
diesel.
Kecelakaan-kecelakaan
akibat kerja dapat dicegah, diantaranya dengan:
1.
Peraturan perundangan,
yaitu ketentuan-ketentuan yang
diwajibkan mengenai kondisi-kondisi kerja pada umumnya, perencanaan,
konstruksi, perawatan dan pemeliharaan, pengawasan, pengujian dan cara kerja
peralatan industri, tugas-tugas pengusaha dan buruh, latihan, supervisi medis,
PPPK dan pemeriksaan kesehatan.
2.
Standarisasi, yaitu
penetapan standar-standar resmi, setengah resmi atau tidak resmi mengenai
misalnya konstruksi yang memenuhi syarat-syarat keselamatan jenis-jenis
peralatan industri tertentu, praktek-praktek keselamatan dan higene umum atau
alat-alat perlindungan diri.
3.
Pengawasan, yaitu
pengawasn tentang dipatuhinya ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang
diwajibkan.
4.
Penelitian bersifat
teknik, yang meliputi sifat dan ciri-ciri bahan-bahan yang berbahaya,
penyelidikan tentang pagar pengaman, pengujian alat-alat perlindungan diri,
penelitian tentang pencegahan peledakan gas dan debu, atau penelaahan tentang
bahan-bahan dan desain yang paling tepat untuk tambang-tambang pengangkat dan
peralatan pengangkat lainnya.
5.
Riset medis, yang
meliputi terutama penelitian tentang efek-efek fisiologis dan patologis
faktor-faktor lingkungan dan teknologi serta keadaan-keadaan fisik yang
mengakibatkan kecelakaan.
6.
Penelitian psikologis,
yaitu penyelidikan tentang pola-pola kejiwaan yang menyebabkan terjadinya
kecelakaan.
7.
Penelitian secara
statistik, yaitu untuk menetapkan jenis-jenis kecelakaan yang terjadi,
banyaknya, mengenai siapa saja, dalam pekerjaan apa dan apa sebab-sebabnya.
8.
Pendidikan, yaitu yang
menyangkut pendidikan keselamatan dalam kurikulum teknik, sekolah-sekolah
perniagaan atau kursus-kursus pertukangan.
9.
latihan-latihan, yaitu
latihan praktek bagi tenaga kerja, khususnya tenaga kerja yang baru dalam
keselamatan kerja.
10.
penggairahan, yaitu
penggunaan cara penyuluhan atau pendekatan lain untuk menimbulkan sikap untuk
selamat.
11.
Asuransi, yaitu
insentif finansial untuk meningkatkan pencegahan kecelakaan, misalnya dalam
bentuk pengurangan premi yang dibayar oleh perusahaan, jika tindakan-tindakan
keselamatan sangat baik.
12.
Usaha keselamatan pada
tingkat perusahaan, yaitu yang merupakan ukuran utama efektif tidaknya
penerapan keselamatan kerja. Pada perusahaanlah kecelakaan-kecelakaan terjadi,
sedangkan pola-pola kecelakaan pada suatu perusahaan sangat tergantung pada tingkat kesadaran akan
keselamatan kerja oleh semua pihak yang bersangkutan.
Jelaslah
bahwa untuk pencegahan kecelakaan akibat kerja diperlukan kerja sama antara
keahlian dan profesi seperti pembuat undang-undang, pegawai pemerintah,
ahli-ahli teknik, dokter, ahli ilmu jiwa, ahli statistik, guru-guru dan tentu
dari pengusaha dan buruh.
2.1.3. Klasifikasi Kecelakaan Akibat
Kerja
Klasifikasi
kecelakaan akibat kerja menurut Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) tahun
1962 adalah sebagai berikut:
1. Klasifikasi
menurut jenis kecelakaan
a. Terjatuh.
b. Tertimpa
benda jatuh.
c. Tertumbuk
atau terkena benda-benda, terkecuali benda jatuh.
d. Terjepit
oleh benda.
e. Gerakan-gerakan
melebihi kemampuan.
f. Pengaruh
suhu tinggi.
g. Terkena
arus listrik.
h. Kontak
dengan bahan-bahan berbahaya atau radiasi.
i.
Jenis-jenis lain,
termasuk kecelakaan-kecelakaan yang data-datanya tidak cukup atau
kecelakaan-kecelakaan lain yang belum masuk klasifikasi tersebut.
2. Klasifikasi
menurut penyebab
a. Mesin.
i.
Pembangkit tenaga,
terkecuali motor-motor listrik.
ii.
Mesin penyalur
(Transmisi).
iii.
Mesin-mesin untuk
pengerjaan logam.
iv.
Mesin-mesin pengolah
kayu.
v.
Mesin-mesin pertanian.
vi.
Mesin-mesin
pertambangan.
vii.
Mesin-mesin lain yang
tidak termasuk klasifikasi tersebut.
b. Alat
angkut dan alat angkat.
i.
Mesin angkat dan
peralatannya.
ii.
Alat angkutan diatas
rel.
iii.
Alat angkutan lain yang
beroda, kecuali kereta api.
iv.
Alat angkutan udara.
v.
Alat angkutan air.
vi.
Alat-alat angkutan
lain.
c. Peralatan
lain.
i.
Bejana bertekanan.
ii.
Dapur pembakar dan
pemanas.
iii.
Instalasi pendingin.
iv.
Instalasi listrik,
termasuk motor listrik, tetapi dikecualikan alat-alat listrik (tangan).
v.
Alat-alat listrik
(tangan).
vi.
Alat-alat kerja dan
perlengkapannya, kecuali alat-alat listrik.
vii.
Tangga.
viii.
Perancah (steger).
ix.
Peralatan lain yang
belum termasuk klasifikasi tersebut.
d. Bahan-bahan,
zat-zat dan radiasi.
i.
Bahan peledak.
ii.
Debu, gas, cairan dan
zat-zat kimia, terkecuali bahan peledak.
iii.
Benda-benda melayang.
iv.
Radiasi.
v.
Bahan-bahan dan zat
lain yang belum termasuk golongan tersebut.
e. Lingkungan
kerja.
i.
Diluar bangunan.
ii.
Didalam bangunan.
iii.
Dibawah tanah.
f. Penyebab-penyebab
lain yang belum termasuk golongan-golongan tersebut.
i.
Hewan.
ii.
Penyebab lain.
g.
Penyebab-penyebab yang belum termasuk golongan tersebut atau data tak memadai.
3. Klasifikasi
menurut sifat luka atau kelainan
a. Patah
tulang.
b. Dislokasi/keseleo.
c. Regang
oto/urat.
d. Memar
dan luar dalam yang lain.
e. Amputasi.
f. Luka-luka
lain.
g. Luka
dipermukaan.
h. Gegar
dan remuk.
i.
Luka bakar.
j.
Keracunan-keracunan
mendadak (akut).
k. Akibat
cuaca dan lain-lain.
l.
Mati lemas.
m. Pengaruh
arus listrik.
n. Pengaruh
radiasi.
o. Luka-luka
yang banyak dan berlainan sifatnya.
p. Lain-lain.
4. Klasifikasi
menurut letak kelainan atau luka ditubuh
a. Kepala.
b. Leher.
c. Badan.
d. Anggota
atas.
e. Anggota
bawah.
f. Banyak
tempat.
g. Kelainan
umum.
h. Letak
lain yang tidak dapat dimasukan klasifikasi tersebut.
Klasifikasi
tersebut yang bersifat jamak adalah pencerminan kenyataan, bahwa kecelakaan
akibat kerja jarang sekali disebabkan oleh suatu, melainkan oleh berbagai
faktor. Penggolongan menurut jenis menunjukkan peristiwa yang langsung
mengakibatkan kecelakaan dan menyatakan bagaimana suatu benda atau zat sebagai
penyebab kecelakaan menyebabkan terjadinya kecelakaan, sehingga sering
dipandang sebagai kunci bagi penyelidikan sebab lebih lanjut. Klasifikasi
menurut penyebab dapat dipakai untuk mengolongkan penyebab menurut kelainan
atau luka-luka akibat kecelakaan atau menurut jenis kecelakaan terjadi yang
diakibatkannya. Keduanya membantu dalam usaha pencegahan kecelakaan, tetapi
klasifikasi yang disebut terakhir terutama sangat penting. Penggolongan menurut
sifat dan letak luka atau kelainan ditubuh berguna bagi penelaahan tentang
kecelakaan lebih lanjut dan terperinci.
Dari
penyelidikan, ternyata faktor manusia dalam timbulnya kecelakaan sangat
penting. Selalui ditemui dari hasil-hasil penelitian, bahwa 80 – 85% kecelakaan
disebabkan oleh kelalaian atau kesalahan manusia, bahkan ada suatu pendapat bahwa
akhirnya langsung atau tidak langsung semua kecelakaan adalah dikarenakan
faktor manusia. Kesalahan tersebut mungkin saja dibuat oleh perencana pabrik,
oleh kontraktor yang membangunnya, pembuat mesin-mesin, pengusaha, insinyur,
ahli kimia, ahli listrik, pelaksana atau petugas yang melakukan pemeliharaan
mesin dan peralatan.
2.2. Teori dan Model Penyebab Kecelakaan Kerja
Supaya
dapat menentukan upaya pencegahan kecelakaan, kita perlu mengetahui bagaimana
kecelakaan dapat terjadi atau dengan kata lain perlu menemukan penyebab
kecelakaan tersebut. Secara umum penyebab kecelakaan dapat dikategorikan
sebagai berikut:
1.
Penyebab
langsung/primer, yang terdiri dari:
v Perilaku
manusia yang tidak aman (unsafe acts).
v Lingkungan
kerja yang tidak aman (unsafe conditions).
2.
Penyebab tidak
langsung/dasar (underlying), yang
terdiri dari:
v Faktor manusia, meliputi faal, kejiwaan.
v Faktor
lingkungan, meliputi fisik, kimiawi, biologis dan psikologis.
v Faktor
manajemen, meliputi kebijakan, keputusan, evaluasi pengendalian dan administrasi.
2.2.1. Teori Penyebab Kecelakaan Kerja
Selain
model kecelakaan kerja, dikemukakan juga teori penyebab kecelakaan kerja yang
menyatakan bahwa kecelakaan kerja dapat dicegah. Hal tersebut dikenal dengan
nama the domino theory (teori
domino). (Heinrich, 1931) dalam risetnya menemukan sebuah teori yang
dinamakannya teori domino. Teori itu menyebutkan bahwa pada setiap kecelakaan
yang menimbulkan cedera terdapat lima faktor secara berurutan yang digambarkan
sebagai lima domino yang berdiri sejajar, diantaranya yaitu kebiasaan,
kesalahan seseorang, perbuatan dan kondisi tidak aman (hazard), kecelakaan serta cedera. Heinrich mengemukakan, untuk
mencegah terjadinya kecelakaan, kuncinya dalah dengan memutusakan rangkaian
sebab akibat, misalnya dengan membuang kondisi yang tidak aman (hazard).
(Birds,
1967) memodifikasi teori domino Heinrich dengan mengemukakan teori manajemen
yang berisikan lima faktor dalam urutan suatu kecelakaan, yaitu manajemen,
sumber penyebab dasar, gejala, kontak dan kerugian. Dalam teorinya, Birds
mengemukakan bahwa usaha pencegahan
kecelakaan kerja hanya dapat berhasil dengan mulai memperbaiki manajemen
keselamatan dan kesehatan kerja. Praktek dibawah standar atau unsafe acts dan kondisi dibawah standar
atau unsafe conditions merupakan
penyebab langsung suatu kecelakaan dan penyebab utama dari kesalahan manajemen.
Dalam penelitiannya, Birds mengemukakan bahwa setiap satu kecelakaan berat
disertai oleh sepuluh kejadian kecelakaan ringan, tiga puluh kecelakaan yang
menimbulkan kerusakan harta benda dan enam ratus kejadian-kejadian hampir
celaka. Biaya yang dikeluarkan perusahaan akibat kecelakaan kerja dengan
membandingkan biaya langsung dan biaya tak langsung adalah 1:5-50 dan
digambarkan sebagai gunung es.
2.2.2. Model Penyebab Kecelakaan Kerja
Selama
beberapa tahun telah dikembangkan beberapa model penyebab kecelakaan kerja.
Beberapa model penyebab kecelakaan yang umum diketahui (Goetsch, 1996) adalah
sebagai berikut, yaitu:
A.
The
human factor model
Teori
ini menyatakan kecelakaan sebagai rantai kejadian yang pada akhirnya disebabkan
oleh human error (kesalahan manusia).
Human error terdiri atas tiga faktor,
yaitu overload, inappripiate
response/incompatibility dan inappropiate
activities.
Overload (kelebihan
beban) adalah ketidak seimbangan antara kapasitas seseorang pada suatu waktu
dengan beban yang ditugaskan kepada orang tersebut. Kapasitas seseorang
dipengaruhi oleh kemampuan alami, pelatihan yang pernah diterima, kelelahan,
stres dan kondisi fisik. Sementara beban yang
ditanggung terdiri dari tugas yang diberikan serta faktor tambahan
lainnya seperti lingkungan, faktor internal dan situasi.
Yang
dimaksud dengan innappropiate response (ketidak
sesuaian respon) adalah respon seseorang yang tidak sesuai, misalnya seseorang pekerja memindahkan alat pengaman dari mesin
dengan tujuan untuk meningkatkan output mesin tersebut. Inappropiate activities (ketidak sesuaian kegiatan), misalnya
melakukan tugas yang tidak dimengerti dan tidak memahami resiko pekerjaan yang
sedang dilakukan.
B.
The
epidemiological model (model epidemiologi)
Epidemiologi
merupakan ilmu yang mempelajari hubungan sebab akibat antara lingkungan dan
penyakit. Dalam teori penyebab kecelakaan epidemiologi, ilmu tersebut
diterapkan untuk menentukan hubungan antara
faktor lingkungan dengan kecelakaan.
Menurut
the epidemiological theory, komponen
kuncinya adalah sebagai berikut:
v Karakteristik
yang mudah terpengaruh, misalnya persepsi orang, faktor lingkungan).
v Karakteristik
situasi, misalnya tekanan dari teman, prioritas dari supervisor dan sikap.
Kedua
karakteristik tersebut secara bersama-sama dapat menyebabkan kecelakaan ataupun
mencegah kecelakaan.
C.
The
system model
Sistem
adalah kumpulan dari berbagai komponen yang saling berinteraksi membentuk
kesatuan. Dalam teori ini, situasi yang menyebabkan terjadinya kecelakaan
dipandang sebagai suatu sistem dengan komponen manusia, mesin dan lingkungan.
Kemungkinan terjadinya kecelakaan ditentukan oleh interaksi antara
komponen-komponen tersebut. Perubahan pola interaksi komponen-komponen dalam
sistem dapat meningkatkan ataupun menurunkan kemungkinan terjadinya kecelakaan.
Salah
satu model sistem yang banyak digunakan adalah model sistem yang dikembangkan
oleh R.J. Firenzie (Goetsch, 1996). Model sistem dikembangkan dengan
komponen-komponen utama, yaitu manusia/mesin/lingkungan, informasi, keputusan,
resiko dan tugas yang harus dilakukan. Dalam setiap pekerjaan terdapat resiko
terjadinya kecelakaan, baik besar maupun kecil. Untuk itu, pekerja perlu
mengumpulkan informasi melalui pengamatan lingkungan sehingga dapat menilai
resiko dan selanjutnya mengambil keputusan untuk melakukan suatu pekerjaan atau
tidak melakukannya.
D.
The
behavioral model
Menurut
teori ini, didalam diri seseorang
terdapat sikap yang diharapkan dan sikap yang perlu dihindari berkaitan
dengan kecelakaan. Untuk meningkatkan sikap yang diharapkan dan mengurangi
sikap yang buruk, maka diperlukan kekuatan positif dalam bentuk insentif dan
penghargaan. E. Scott Geller, salah seorang pendukung behavioral theory, mengemukakan tujuh prinsip, yaitu:
1)
Interensi.
2)
Identifikasi faktor
eksternal.
3)
Memotivasi pekerjaan
untuk memiliki sikap yang diinginkan.
4)
Fokus pada akibat
positif dari sikap yang sesuai.
5)
Menerapkan metode
ilmiah untuk meningkatkan interversi sikap.
6)
Integrasi informasi.
7)
Perencanaan interversi.
2.2.3. Analisa Sebab-Sebab Kecelakaan
Upaya
untuk mencari sebab kecelakaan disebut analisa sebab kecelakaan. Analisa ini
dilakukan dengan mengadakan penyelidikan atau pemeriksaan terhadap peristiwa
kecelakaan. Analisa kecelakaan tidak mudah, oleh karena penentuan sebab-sebab
kecelakaan secara tepat adalah pekerjaan sulit. Kecelakaan harus secara tepat
dan jelas diketahui, bagaimana dan mengapa terjadi. Hanya pernyataan bahwa
kecelakaan dikarenakan oleh misalnya alat kerja atau tertimpa benda jatuh
tidaklah cukup, melainkan perlu ada kejelasan tentang serentetan peristiwa
keseluruhannya yang menyebabkan terjadinya kecelakaan. Apabila sebab satu
bagian dari rentetan peristiwa tersebut dihilangkan, kecelakaan tidak akan
terjadi.
Contoh:
Seseorang
menaiki tangga dan terjatuh, oleh karena satu anak tangga tidak ada. Analisa
kecelakaan dengan pemeriksaan menemukan kenyataan-kenyataan sebagai berikut:
1. Terdapat
tangga diruang kerja dengan salah satu anak tangga hilang.
2. Seorang
tenaga kerja mengambil tangga itu dan menggunakannya untuk pekerjaan perawatan.
3. Sesudah
pekerjaan selesai ia turun tanpa ingat bahwa satu anak tangga tidak ada.
Ketiga
faktor ini perlu untuk terjadinya kecelakaan, tetapi kecelakaan terjadi hanya
karena keseluruhan dari ketiga faktor tersebut terjadi. Jika salah satu faktor
tidak ada, kecelakaan tidak akan terjadi. Faktor mana yang akan ditonjolkan
sebagai penyebab kecelakaan adalah faktor yang positif akan membantu pencegahan
selanjutnya, agar tindakan selanjutnya positif memberikan manfaat. Dalam hal
ini, adanya tangga yang tidak lengkap anak tangganya adalah sebab utama yang
harus diperbaiki. Sedangkan lain-lain dapat dianggap penyebab tambahan yang
perlu pula ada perhatian, yaitu perlunya larangan penggunaan tangga yang tidak
baik dan perlunya pendidikan kepada tenaga kerja, agar selalu berhati-hati
dalam pekerjaannya.
Cara
pemeriksaan kecelakaan sangat penting untuk mengetahui sebabnya. Pemeriksaan
kecelakaan harus selalu dilakukan ditempat terjadinya kecelakaan. Adalah sangat
memudahkan, jika pemeriksaan dilakukan pada keadaan yang belum diubah seperti
ketika kecelakaan terjadi. Maka dari itu, setelah terjadinya kecelakaan tempat
tersebut tidak diganggu dan dibiarkan sedemikian, kecuali jika perlu pengamanan
terhadap terjadinya kecelakaan atau kerusakan lebih lanjut. Adapun korban harus
segera mendapat pertolongan yang sebaik-baiknya dan setepat-tepatnya.
Apakah
tempat kecelakaan telah berubah atau tidak, tetap perlu untuk rekonstruksi
serentetan peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum kejadian kecelakaan dengan
bantuan si korban dan kerjasama dengan saksi-saksi. Pemeriksaan harus secara
cermat meneliti tempat tersebut dan segala sesuatu yang bersangkutan dengan
kecelakaan dan memeriksa saksi-saksi. Pada umumnya, sebab kecelakaan dapat
ditemukan dengan cara pemeriksaan demikian. Namun ada kalanya, masih diperlukan
bantuan laboratorium pengujian seperti misalnya pada kecelakaan dengan putusnya
rantai baja atau tambang kawat. Pemeriksaan laboratoris diperlukan untuk
mengetahui sebab putusnya rantai atau tambang tersebut antara lain dengan
pemeriksaan mikroskopis atau analisa kimiawi laboratoris.
Kecelakaan-kecelakaan
diselidiki dengan maksud sebagai berikut:
1. Menentukan
siapa yang bertangung jawab atas terjadinya kecelakaan.
2. Mencegah
terulangnya peristiwa yang serupa.
Menetapkan
siapa yang bersalah adalah sangat berbeda dibanding dengan menyelidiki
kecelakaan untuk pencegahan. Tanggung jawab tentang terjadinya kecelakaan
berkaitan dengan hak kompensasi kecelakaan, penindakan atau hukuman bagi
pelangran ketentuan-ketentuan keselamatan, tindakan lain terhadap yang
bersalah, dan lain-lain. Penyelidikan tentang tanggung jawab ini sangat
membantu dalam pencegahan terulangnya kecelakaan.
Jika
penyelidikan kecelakaan dimaksudkan untuk mencapai kedua tujuan tersebut, hal
ini sangat menyulitkan terutama untuk menemukan sebab-sebab kecelakaan. Mereka
yang merasa akan jadi tersangka tidak akan memberikan keterangan yang
sejujur-jujurnya sehingga bahan-bahan tidak lengkap dan mungkin tidak
benar, maka tidak mungkin mencari sebab
yang tepat. Dari itulah perlu dicamkan, bahwa penyelidikan kecelakaan terutama
bertujuan pencegahan. Umum diterima, bahwa kecelakaan juga beberapa bagian
dikarenakan kekhawatiran, kesedihan, keadaan sakit, cepat marah, kecewa,
keadaan agresif, keracunan atau keadaan-keadaan fisik dan mental serta
keadaan-keadaan ini mungkin ada hubungannya dengan keadaan luar dan dalam
perusahaan. Juga sangat sering, bahwa suatu kecelakaan adalah akibat dari
perpaduan keadaaan teknologi, fisiologis dan psikologis.
Sekalipun
rumit permasalahan sebab-sebab kecelakaan, secara sederhana dapat dikatakan,
bahwa penyebab kecelakaan paling utama ditemukan tidak pada mesin-mesin yang
paling berbahaya, seperti mesin gergaji sirkuler, mesin pengaduk dan mesin
tekan atau zat-zat yang paling berbahaya, seperti bahan-bahan peledak atau
cairan-cairan yang mudah menyala, tetapi pada kegiatan-kegiatan yang biasa
seperti terjatuh, bekerja tidak tepat atau penggunaan perkakas tangan dan
tertimpa oleh benda jatuh. Kenyataan ini dapat dilihat dari beberapa statistik.
Di Prancis, kecelakaan-kecelakaan atas penyebab demikian mencapai 78,2%,
sedangkan oleh mesin hanya 11,5%. Di Amerika Serikat akhir-akhir ini,
kecelakaan-kecelakaan oleh pesawat-pesawat motor hanya 0,4% dan oleh
mesin-mesin 9,8%. Di Indonesia, keadaan masih sedemikian bahwa
kecelakaan-kecelakaan yang berat lah yang dilaporkan dan angka kecelakaan atas
dasar laporan tersebut terbesar bersumber pada pekerjaan-pekerjaan yang
berbahaya.
2.2.4.
Kerugian-Kerugian Yang Disebabkan
Kecelakaan Akibat Kerja
Kecelakaan
kerja menyebabkan 5 jenis kerugian (5K), diantaranya yaitu:
1.
Kerusakan.
2.
Kekacauan organisasi.
3.
Keluhan dan kesedihan.
4.
Kelainan dan cacat.
5.
Kematian.
Bagian
mesin, pesawat, alat kerja, bahan, proses, tempat dan lingkungan kerja mungkin
rusak oleh kecelakaan. Akibat dari itu, terjadilah kekacauan organisasi dalam
proses produksi. Orang yang ditimpa kecelakaan mengeluh dan menderita,
sedangkan keluarga dan kawan-kawan sekerja akan bersedih hati. Kecelakaan tidak
jarang berakibat luka-luka, terjadinya kelainan tubuh dan cacat. Bahkan tidak
jarang kecelakaan merenggut nyawa dan berakibat kematian.
Kerugian-kerugian
tersebut dapat diukur dengan besarnya biaya yang dikeluarkan bagi terjadinya
kecelakaan. Biaya tersebut dibagi menjadi biaya langsung dan biaya tersembunyi.
Biaya langsung adalah biaya pemberian pertolongan pertama bagi kecelakaan,
pengobatan, perawatan, biaya rumah sakit, biaya angkutan, upah selama tak mampu
bekerja, kompensasi cacat, dan biaya perbaikan alat-alat mesin serta biaya atas
kerusakan bahan-bahan. Biaya tersembunyi meliputi segala sesuatu yang tak
terlihat pada waktu atau beberapa waktu setelah kecelakaan terjadi. Biaya ini
mencakup berhentinya proses produksi oleh karena pekerja lainnya menolong atau
tertarik oleh peristiwa kecelakaan itu, biaya yang harus diperhitungkan untuk
mengganti orang yang sedang menderita oleh karena kecelakaan dengan orang baru
yang belum biasa bekerja ditempat itu, dan lain-lain.
Kecelakaan-kecelakaan
besar dengan kerugian-kerugian besar biasanya dilaporkan, sedangkan
kecelakaan-kecelakaan kecil tidak dilaporkan. Padahal biasanya
peristiwa-peristiwa kecelakaan kecil adalah 10 kali kejadian
kecelakaan-kecelakaan besar. Maka dari itu, kecelakaan-kecelakaan kecil
menyebabkan kerugian-kerugian yang besar pula manakala dijumlahkan secara
keseluruhan.
2.3.
Keselamatan
Kerja Diperusahaan
Kondisi
keselamatan kerja diperusahaan di Indonesia secara umum diperkirakan
termasuk rendah. Kondisi tersebut mencerminkan kesiapan daya saing
perusahaan Indonesia didunia internasional yang masih sangat rendah. Indonesia
akan sulit menghadapi pasar global karena mengalami ketidakefisienan
pemanfaatan tenaga kerja (produktivitas kerja yang rendah). Padahal kemajuan
perusahaan sangat ditentukan peranan mutu tenaga kerjanya. Karena itu, perlunya
perhatian perusahaan untuk memfasilitasi dengan peraturan atau aturan
perlindungan Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
2.3.1.
Keselamatan
Ditempat Kerja
Undang-
undang, peraturan, pengawasan, rekomendasi, nasehat, riset, pameran,
konferensi, seminar, lokakarya dan lain-lain tidak ada artinya, jika ditempat
kerja tidak ada usaha untuk meningkatkan keselamatan. Perusahaan harus aktif
dengan segala organisasinya untuk membuat tempat kerja yang ada lebih selamat.
Pimpinan perusahaan atau pengurus perusahaan harus menjadi pemimpin aktivitas
keselamatan. Setiap orang diperusahaan harus tahu bahwa pimpinan perusahaan
tidak hanya tertarik kepada produksi, kualitas dan kuantitas produk, pencegahan
terbuangnya material, pemeliharaan mesin dan peralatan secara baik, tetapi juga
kepada keselamatan.
Untuk
keselamatan ditempat kerja terdapat komponen-komponen penting yaitu tanggung
jawab pimpinan perusahaan, pendelegasian wewenang kepada staf pengawasan,
status dan kegiatan panitia keselamatan, peranan ahli keselamatan dan
lain-lain. Materi bagi peningkatan keselamatan ditempat kerja adalah
perencanaan yang baik oleh pimpinan perusahaan, penerapan cara-cara kerja yang
aman oleh tenaga kerja, keteraturan yang baik dan pemasangan pagar pengaman
atau pelindung terhadap mesin-mesin yang berbahaya. Pimpinan perusahaan harus
mengorganisasi proses secara efisien dengan mengkobinasikan produksi maksimum
dengan biaya minimum dan dengan memasukan keselamatan tidak sebagai ekstra
tetapi merupakan satu bagian dari proses. Kebiasaan-kebiasaan kerja secara
benar harus ditimbulkan oleh latihan kerja yang tepat dan selanjutnya
diteruskan dalam praktek ditempat kerja. Keteraturan dan ketata-rumahtanggaan sebagaimana
juga alat-alat pengaman penting bagi produksi dan juga keselamatan. Mengenai
aspek psikologis, kondisi kerja yang berakibat ketenangan mental sangat
membantu meningkatkan keselamatan. Diperusahaan, pimpinan perusahaan harus
menetapkan apa yang harus dilakukan tentang permasalahan tersebut dan
memberikan intruksi yang diperlukan. Orang yang biasanya melaksanakan
tugas-tugas ini adalah pengawas atau pimpinan kelompok yang peranannya sangat
besar dalam penyelenggaraan keselamatan kerja.
Pada
perusahaan besar mungkin terdapat bagian keselamatan dalam organisasi
perusahaan atau seorang ahli keselamatan kerja, sedangkan kerja sama semua
pihak dalam kegiatan keselamatan akan lebih digalangkan oleh suatu keselamatan.
Biasanya bagian personalia bertanggung jawab tentang pengangkatan tenaga kerja
baru dan mengenai latihan kerja didalam perusahaan. Pada perusahaan kecil,
prinsip-prinsip demikian tetap berlaku tetapi organisasinya lebih sederhana.
Apakah perusahaan harus mempunyai ahli keselamatan dan panitia keselamatan
secara bersama-sama seing dipermasalahkan. Ruang gerak terdapat untuk keduanya,
oleh karena ahli keselamatan berfungsi keahlian, sedangkan panitia keselamatan
bertugas menggalang kerja sama yang efisien diantara pengusaha dan buruh.
Diperusahaan yang relatif lebih kecil, tidak cukup aktifitas dan kebutuhan
untuk mempunyai seorang ahli keselamatan kerja, tetapi tetap terdapat ruang
lingkup kegiatan bagi panitia keselamatan kerja. Pada perusahaan-perusahaan
yang lebih kecil lagi, kebutuhan akan panitia keselamatan lebih berkurang lagi
sebagai akibat dekatnya hubungan diantara pimpinan perusahaan, buruh dan
pengawas kelompok.
2.3.2.
Peranan
Pimpinan Perusahaan
Semboyan
bahwa “keselamatan harus mulai dari atas” menunjukan secara tegas pentingnya
peranan pimpinan perusahaan bagi keberhasilan program keselamatan. Pimpinan
atau pengawas kelompok tenaga kerja, ahli keselamatan dan staf lainnya tidak
pernah berhasil banyak apabila pimpinan perusahaan tidak mengambil tugas
kepemimpinan dalam meningkatkan dan mempertahankan standar keselamatan yang
tinggi. Pengaruh pimpinan perusahaan harus menjadi kenyataan pada segenap
kegiatan yang bertalian dengan lingkungan kerja dan pengelolaan tenaga kerja
diperusahaan.
Faktor-faktor
lingkungan yang terbukti merupakan alat yang berguna bagi menurunkan jumlah
kecelakaan meliputi kebersihan, produksi yang efisien, peralatan dengan
efisiensi tinggi, mesin-mesin yang memiliki motor masing-masing, penerangan
yang sangat baik, pemakaian warna yang dipilih secara hati-hati bagi langit-langit
atau atap, dinding dan mesin, sistem pengaturan udara termasuk suhunya yang
baik dan tempat duduk yang baik. Keberhasilan pimpinan perusahaan dalam
keselamatan juga harus dilihat dari kenyataan seperti mesin-mesin benar-benar
diberi perlindungan keselamatan, tempat-tempat berbahaya diberi pagar pengaman,
penydiaan peralatan yang tepat dan perawatannya dilakukan, alat-alat
perlindungan diri disediakan. Jika hal-hal tersebut tidak memadai, tenaga kerja
tidak pernah akan memberi cukup kepercayaan bahwa pengusaha benar-benar menaruh
perhatian terhadap keselamatan, dengan begitu tenaga kerja tidak akan
memperhatikan pula masalah keselamatan.
Pimpinan
perusahaan tidak boleh sedikitpun memberikan kesan keraguan kepada tenaga kerja
tentang perhatian dan keterlibatannya dalam peristiwa kecelakaan. Pada suatu
peristiwa kecelakaan, khususnya yang cukup berat, pimpinan perusahaan selain
hanya melihat laporan kecelakaan juga harus memperoleh keterangan langsung dari
tangan pertama yaitu korban kecelakaan, pimpinan regu atau kelompok dan
pengurus ditempat kerja atau bagian perusahaan. Dengan begitu, selain ia
menunjukan perhatian juga sekaligus menegaskan tanggung jawab pimpinan regu
atau kelompok dan pimpinan bagian yang bersangkutan. Jika kecelakaan berat, keterlibatan
dan perhatian pimpinan perusahaan terhadaap membantu korban harus pula terlihat
pada pengaturan rumah sakit dan perhatian pada keluarga korban.
Jika
perhatian pimpinan perusahaan terhadap keselamatan besar, hal itu sangat baik.
Perhatian tersebut jangan menunggu sampai adanya kewajiban perbaiakan
keselamatan dari pengawas keselamatan kerja atau adanya desakan dari serikat
buruh. Dalam banyak hal, pengusaha tidak atau kurang atau tidak mau
memperlihatkan keselamatan kerja dan pencegahan kecelakaan. Oleh karena itu
perlu penyuluhan dan pengarahan bagi mereka disamping penerapan kewajiban
perundang-undangan.
2.3.3.
Peranan
Pimpinan Regu Atau Kelompok
Penerapan
keselamatan kerja banyak tergantung kepada pimpinan regu atau kelompok. Tenaga
kerja dalam regunua berada dalam pimpinannya dan tingkah laku mereka banyak
dipengaruhi oleh pimpinan tersebut. Manakala pimpinan regu atau kelompok hanya
menaruh perhatian kepada produksi dan ia terlihat pada banyak kegiatan lain,
tetapi keselamatan diluar lingkup rasa tanggung jawabnya, banyak kecelakaan
cenderung terjadi. Atas dasar biaya kecelakaan, mungkin secara lambat atau
cepat mereka tertarik pula pada usaha pencegahan kecelakaan. Peranan pimpinan
perusahaan untuk mengarahkan perhatian mereka terhadap keselamatan kerja sangat
penting, ada pula kemungkinan bahwa pimpinan regu atau kelompok melampaui waktu
atau kemampuan kerja sehingga beberapa hal termasuk keselamatan dilupakan.
Contoh:
Suatu
alat pengepres diperbaiki, kemudian
pagar pelindung tidak cocok lagi untuk dipasang. Oleh karena banyaknya
permintaan, pekerjaan harus diselesaikan agar keuntungan dapat dikejar.
Pimpinan kelompok menyuruh tenaga kerja bekerja tanpa pagar pengaman dan
terjadilah kecelakaan pada tangan.
Pimpinan
regu atau kelompok harus yakin bahwa keceelakaan dapat dicegah sebagaimana ia
yakin bahwa pemborosan material dapat dicegah dan bahwa cara-cara kerja dapat
diperbaiki. Bagi tenaga kerja, pimpinan kelompok atau regu merupakan wakil dari
perusahaan. Ia harus mengawasi bahwa sasaran pekerjaan dan perintah pimpinan
perusahaan dilaksanakan dengan menggunakan kewenangan dari pengaruh pribadinya.
Kalau ia tidak bersungguh-sungguh dalam usaha keselamatan, seluruh anggota
kelompok yang pimpinannya juga tidak akan berbuat sebagaimana mestinya. Sebaliknya,
jika ia yakin akan perlunya keselamatan, jika ia memberi contoh bahwa
keselamatan harus selalu diperhatikan dan jika ia sendiri melakukan
segala-galanya untuk keselamatan, maka tenaga kerja yang dipimpinnya akan
mengikutinya.
2.3.4.
Peranan
Ahli Atau Personil Keselamatan Kerja
Ahli
keselamatan atau personil keselamatan, jika ada biasanya menyusun rencana dan
pelaksanaannya dilakukan oleh seluruh komponen dalam perusahaan. Ia mungkin
melakukan diskusi dengan setiap pengawas atau pimpinan kelompok atau regu dan
memberikan advis-advis tentang pelaksanaan slanjutnya dalam keselamatan kerja
atau pencegahan kecelakaan.
Fungsi
seorang ahli keselamatan kerja secara singkat adalah meniadakan bahaya-bahaya
yang meliputi sebagai berikut:
1.
Merumuskan dan melakukan
supervisi tentang pelaksanaan kebijaksanaan pencegahan kecelakaan pada umumnya.
2.
Membuat laporan dan
memberikan nasehat-nasehat kepada pimpinan perusahaan tentang semua
permasalahan keselamatan.
3.
Memberi bimbingan
kepada staf yang melakukan supervisi.
4.
Mengadakan penelitian
tentang kecelakaan.
5.
Melakukan pencatatan
kecelakaan dan statistik.
6.
Melakukan pengawasan
tentang latihan keselamatan.
7.
Mengadakan pemeriksaan
diperusahaan, pada peralatan, proses-proses dan cara kerja.
8.
Mengambil peranan dan
membantu panitia keselamatan.
9.
Membuat
petunjuk-petunjuk, bimbingan dan bahan-bahan lain dalam keselamatan.
10.
Mengarahkan
kegiatan-kegiatan keselamatan seperti perlombaan, pameran dan gerakan-gerakan
keselamatan.
11.
Secara umum melakukan
segala sesuatu yang ia dapat untuk membuat kondisi-kondisi yang selamat
diperusahaan dan meniadakan praktek-praktek yang tidak memenuhi syarat
keselamatan kerja dalam pekerjaan..
Pada
saat-saat tertentu, ahli keselamatan menjadi sangat penting kedudukannya.
Misalnya pada pengelasan tangki yang dipakai untuk cairan yang mudah terbakar,
tanpa komandonya pekerjaan tidak akan dimulai. Kalau ahli keselamatan kerja
dalam pemeriksaan diperusahaan melihat hal yang berbahaya, ia dapat
memerintahkan agar pekerjaan dihentikan hingga usaha-usaha pencegahan sudah
diambil. Dalam struktur organisasi perusahaan besar, ahli keselamatan kini
telah menduduki tempat yang cukup tinggi. Perusahaan-peusahaan kecil seharusnya
dianjurkan untuk secara bersama-sama mempunyai ahli keselamatan kerja, namun
hal ini tentu saja tidak mudah oleh karena perusahaan-perusahaan mungkin
berkeberatan untuk memperkenankan orang dari luar masuk keperusahaan dan selain
itu juga ahli-ahli seperti itu belum banyak.
2.3.5.
Panitia
Keselamatan
Pembentukan
panitia keselamatan dan kesehatan diwajibkan diperusahaan, tujuannya adalah
peningkatan keselamatan melalui kerja sama bipartit, yaitu pengusaha dan buruh.
Pimpinan perusahaan harus menggunakan panitia keselamatan dan kesehatan untuk
menjelaskan kepada buruh tentang kebijaksanaan keselamatan, oleh karena
anggota-anggota dari panitia akan meneruskan penjelasan itu kepada mereka.
Sebaliknya, buruh akan menyampaikan pandangan-pandangan dan saran-saran kepada
pengusaha tentang keselamatan kerja melalui panitia. Panitia ini harus membantu
menanamkan kepercayaan buruh terhadap kebijaksanaan keselamatan perusahaan dan
membantu pengusaha untuk menghargai pengalaman dari tenaga kerja. Secara
singkat, panitia keselamatan harus memegang peranan dalam menciptakan saling
pengertian dan kerja sama yang baik diantara pengusaha dan buruh demi
keselamatan kerja. Sebagaimana dikemukakan, panitia terdiri dari wakil-wakil
pengusaha dan buruh. Wakil-wakil perusahaan harus meliputi staf yang erat bertalian dengan soal keselamatan seperti
pimpinan suatu bagian perusahaan, ahli keselamatan, pimpinan kelompok dan
dokter perusahaan.
Banyak
panitia keselamatan yang berhasil, tetapi banyak juga yang tidak. Bahkan ada
yang didirikan tetapi tidak ada kegiatan-kegiatannya. Untuk keberhasilan
panitia tersebut, perrlu diketahui pedoman-pedoman sebagai berikut:
1.
Permasalahan yang akan
dibicarakan dalam pertemuan harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya agar ketua
panitia dapat memberikan petunjuk-petunjuk yang jelas kepada para anggotanya
dalam setiap segi apabila diperlukan. Pembahasan tidak boleh membingungkan,
biasanya pertemuan dimulai dengan pernyataan pihak perusahaan tentang
perhatiannya dalam keselamatan.
2.
Kegagalan sering
merupakan akibat dari kenyataan bahwa pembinaan keselaatan bukan hanyan
berlandaskan kemampuan baik semata, tetapi juga keahlian. Hal ini tidak berarti
bahwa setiap anggota panitia haruslah ahli keselamatan, tetapi harus cukup
jumlah anggotanya yang kompeten untuk melaksanakan pekerjaan yang bertalian
dengan bidang keselamatan tersebut.
3.
Anggota-anggota yang
mewakili buruh harus selalu merasa bebas untuk menyatakan pendapat dan tidak
boleh menyebabkan kesulitan baginya, jika ia mengemukakan pendapat yang berbeda
atau kritik. Pimpinan perusahaan atau senior jarang berkeberatan atas suatu
kritik yang membangun, tetapi pimpinan regu mungkin akan bereaksi keras dan
menganggap kritik tersebut sebagai hal yang
pribadi, dalam hal ini suasana harus segera dijernihkan kearah tujuan
bersama yang baik.
4.
Panitia keselamatan
harus merasa didukung oleh pimpinan perusahaan. Hal ini antara lain dicerminkan
dengan duduknya wakil dari pimpinan perusahaan sebagai ketua, disediakan
ruangan yang cukup untuk rapat, diperkenankannya para anggota menghadiri rapat
dalam jam kerja, diselenggarakannya keperluan sekretariat dan administrasi, diperkenankannya
panitia atau para anggotanya untuk mengunjungi tempat-tempat kerja, jika dirasa
perlu dan lain-lain.
5.
Panitia harus diminta
pendapat dan nasehatnya tentang semua usulan bagi tindakan-tindakan keselamatan
yang baru sehingga sejauh mungkin ketentuan-ketentuan tersebut merupakan
keputusan bersama pengusaha dan buruh.
6.
Jika suatu usul dari
panitia ditolak oleh pimpinan perusahaan, panitia harus diberi tahu tentang
alasan-alasannya.
7.
Semua keterangan yang
diperlukan, seperti halnya statistik harus dismpaikan pada panitia, tidak hanya
sekedar agar mereka mengetahui keadaan umum dan kecenderungan dalam kecelakaan,
tetapi juga agar mereka memiliki landasan yang kuat bagi pembahasan untuk
pembinaan keselamatan kerja.
Anggota-anggota
panitia keselamatan diperusahaan mempunyai tugas umum untuk membina kerja sama
segenap tenaga kerja dalam usaha keselamatan kerja dan pencegahan kecelakaan.
Mereka harus mengusahakan agar disiplin dalam keselamatan kerja ditegakan dan
agar menghilangkan ketidak acuhan serta hambatan oleh tenaga kerja. Tidak
senangnya akan perintah dapat dihilangkan melalui penjelasan teman sekerja yang
disukai.
Para
anggota panitia harus mengusahakan agar sikap “saya dapat mengurus diri
sendiri” diganti dengan sikap “saya bodoh mengambil risiko yang tidak perlu”.
Lebih banyak tenaga kerja diberikan kesempatan untuk ikut merumuskan
ketentuan-ketentuan keselamatan, maka hasilnya pun akan lebih baik. Kerja sama
diantara anggota panitia lebih terasa pada waktu perlunya tenaga kerja dibri
keterangan tentang ketentuan, instruksi dan lain-lain, yaitu suatu tugas yang
sebenarnya lebih berat dari kelihatannya. Akhirnya, anggota-anggota panitia
tidak boleh lupa bahwa salah satu tugasnya adalah melaporkan keadaan-keadaan
yang berbahaya kepada ahli keselamatan dengan segera dan tidak menunggu sampai
dilakukannya rapat yang akan datang.
2.3.6.
Analisa
Keselamatan Terhadap Pekerjaan
Seperti
halnya produktivitas yang memperoleh manfaat dari analisa pekerjaan, demikian
juga keselamatan memetik keuntungan dari analisa keselamatan terhadap
pekerjaan. Produktivitas dan keselamatan erat bertalian, dengan analisa
pekerjaan keselamatan tidak dapat dilupakan dan dengan keselamatan orang tidak
dapat melupakan produktivitas.
Analisa
keselamatan terhadap pekerjaan, terlepas dari apakah bagian atau bukan dari
analisa pekerjaan dapat berperan besar dalam meniadakan bahaya-bahaya yang
bersumber dari pekerjaan. Analisa mengurai setiap operasi dalam pekerjaan,
menelaah bahaya-bahaya tiap-tiap kegiatan dan menunjukan tindakan pencegahnnya.
Analisa bertalian dengan penelaahan ijin kerja, rencana gambar dan peralatan,
kualifikasi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan dan pedoman kerja srta
latihan yang diperlukannya.
Suatu
hal dalam analisa pekerjaan yang dapat mengurangi tugas keselamatan adalah
peniadaan kegiatan-kegiatan yang tidak perlu dan penyerderhanaan
kegiatan-kegiatn yang rumit. Sama-sama dimaklumi, bahwa banyak kecelakaan
terjadi pada pengolahan bahan. Jika proses pengolahan dapat disederhanakan,
kecelakaan-kecelakaan akan berkurang.
2.3.7.
Pedoman
Keselamatan Kerja
Suatu
tindakan lain dalam keselamatan diperusahaan adalah dikeluarkannya pedoman dan
petunjuk tentang keselamatan yang berhubungan dengan pengolahan material,
menjalankan mesin atau pekerjaan-pekerjaan lainnya. Pedoman dan petunjuk tidak
dapat menggantikan alat-alat perlindungan, tetapi berguna sebagai penunjang
penggunaan alat-alat pengaman tersebut atau sangat berguna manakala alat
pengaman tidak dapat dipasang. Sebagai contoh, perlu pedoman atau petunjuk
tentang cara penggunaan rantai atau tali pengangkat, penyimpanan dan
pemeriksaannya atau tentang perawatan mesin atau perawatan lainnya.
Mempersiapkan
suatu pedoman atau petunjuk tidaklah mudah, yang sulit adalah penerapannya.
Cara terbaik agar pedoman atau petunjuk ditaati adalah pengikut sertaan para pelaku dalam perumusan
pedoman atau petunjuk. Hal ini dapat dilakukan melalui panitia keselamatan atau
mengajak yang bersangkutan untuk berkonsultasi. Segera setelah petunjuk atau
pedoman dikeluarkan, harus ada tindakan selanjutnya antara lain supervisi dan
lain-lain.
Pedoman
atau petunjuk tidak ada manfaatnya jika tidak ditaati. Untuk itu isinya harus
tepat, suatu pedoman yang tidak jelas, misalnya seperti dianjurkan memakai
sepatu pelindung, pemakaiannya diserahkan kepada pertimbangan tenaga kerja.
Seharusnya pedoman berbunyi seperti “sepatu pelindung harus dipakai oleh semua
tenaga kerja yang bekerja pada pengolahan benda-benda berat”. Apabila kemampuan
perusahaan tidak dapat menjangkaunya, mungkin perusahaan menganjurkan suatu
pedoman atau petunjuk kepada tenaga kerja, namun bila perusahaan sudah mampu,
anjuran tersebut dirubah menjadi suatu ketentuan yang harus ditaati dan
disertai pengadaan segala sesuatu yang perlu.
Petunjuk
atau pedoman tidak boleh sebagai alat buat pengusaha untuk melepaskan kewajiban
dan tanggung jawabnya dalam keselamatan. Misalnya kaca mata dinyatakan tidak
perlu dipakai, padahal sebenarnya pekerjaan itu men syaratkannya.
2.3.8.
Disiplin
Pengusaha
ataupun buruh memiliki fungsi dan tanggung jawab dalam keselamatan kerja.
Pengusaha lebih memikul tanggung jawab mengenai lingkungan, cara dan pengadaan
mesin serta peralatan. Buruh harus mematuhi ketentuan-ketentuan yang telah
ditentukan dalam keselamatan. Jika buruh tidak memakai alat pelindung ketika
melakukan sesuatu pekerjaannya, karena ia berpikir hal itu tidak perlu,
kenyataan ini merupakan suatu petunjuk bahwa kepatuhan buruh terhadap peraturan
kurang. Kalau sikap buruh dapat membahayakan dirinya sendiri dan temen
sepekerjaannya, maka perlu tindakan-tindakan untuk penegakan disiplin, mungkin
juga dalam hal ini perlunya peringatan. Namun begitu tentu saja cara ini bukan
yang paling memuaskan.
Mungkin
dibalik ketidaktaatan terdapat masalah-maslah ketidak sesuaian perlengkapan
atau cara-cara mengenai keselamatan kerja. Dalam hal ini, tentu saja masalahnya
bukan soal disiplin dan bukan kesalahan tenaga kerja. Penelitian dan pengujian
lebih lanjut perlu diadakan.
2.4.
Peraturan
Perundang-Undangan Dalam Keselamatan Kerja
Dalam
undang-undang no. 14 tahun 1969 tentang ketentuan-ketentuan pook mengenai
tenaga kerja secara jelas ditegaskan, bahwa tiap tenaga kerja berhak mendapat
perlindungan atas keselamatannya (Pasal 9) dan Pemerintah membina norma-norma
keselamatan kerja (Pasal 10 ayat a). Sedangkan dalam hubungan jaminan dan
bantuan sosial, secara umum dinyatakan dalam undang-undang no. 14 tahun 1969
tersebut bahwa Pemerintah mengatur penyelenggaraan pertanggungan sosial dan
bantuan sosial bagi tenaga kerja dan keluarganya. Pertanggungan dan bantuan
sosial ini meliputi juga kecelakaan dan penyakit akibat kerja, sekalipun dalam
penjelasan undang-undang dimaksud hanya diperinci antara lain sakit, meninggal
dunia dan cacat.
Melihat
sasarannya, terdapat dua kelompok perundang-undangan dalam keselamatan kerja, yaitu
sebagai berikut:
1. Kelompok perundang-undangan yang bersasaran
pencegahan kecelakaan akibat kerja. Kelompok ini terdiri dari undang-undang
nomor 1 tahun 1970 tentang keselamatan kerja dan peraturan-peraturan lain yang
diturnkan atau dapat dikaitkan dengannya. Selain itu keselamatan kerja dan
pencegahan kecelakaan terdapat dalam undang-undang lain, seperti undang-undang
kerja (1948-1951).
2.
Kelompok
perundang-undangan yang bersasaran pemberian kompensasi terhadap kecelakaan
yang sudah terjadi. Kelompok ini terdiri dari undang-undang kecelakaan
(1947-1957) dan peraturan-peraturan yang diturunkannya.
2.4.1. Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja
Undang-undang
nomor 1 tahun 1970 tentang keselamatan kerja diundangkan pada tahun 1970 dan
mengganti Veiligheids Reglement Stbl
no 406 yang berlaku sejak tahun 1910. VR yang berlaku mulai 1910 dan semenjak
itu mengalami perubahan mengenai soal-soal yang tidak terlalu berat, ternyata
dalam banyak hal sudah terbelakang dan perlu diperbaiki sesuai dengan perkembangan
peraturan perlindungan industrialisasi di Indonesia.
Pembaruan
dan perluasannya adalah mengenai hal-hal sebagai berikut:
1.
Perluasan ruang
lingkup.
2.
Perubahan pengawasan
represif menjadi preventif.
3.
Perumusan teknis yang
lebih tegas.
4.
Penyusunan tata usaha
sebagaimana diperlukan pelaksanaan pengawasan.
5.
Tambahan pengaturan
pembinaan keselamatan kerja bagi pimpinan perusahaan dan tenaga kerja.
6.
Tambahan pengaturan
mendirikan panitia pembina keselamatan kerja dan kesehatan kerja.
7.
Tambahan pengaturan pemungutan
retribusi tahunan.
Materi
yang diatur oleh undang-undang keselamatan kerja meliputi bab-bab peristilahan,
ruang lingkup, syarat-syarat keselamatan kerja, pengawasan, pembinaan, panitia
pembina keselamatan dan kesehatan kerja, pelaporan kecelakaan, kewajiban dan
hak tenaga kerja, kewajiban bila memasuki tempat kerja, kewajiban pengurus, dan
ketentuan-ketentuan penutup.
Istilah-istilah
yang dipakai dalam undang-undang keselamatan kerja dan pengertiannya meliputi
(Pasal 1):
1.
Tempat kerja, ialah
tiap ruangan atau lapangan, tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap, yang
menjadi tempat tenaga kerja atau yang sering dimasuki tenaga kerja untuk
keperluan suatu usaha dan terdapat sumber atau sumber-sumber bahaya sebagaimana
diperinci dalam pasal-pasal undang-undang keselamatan kerja. Termasuk tempat
kerja ialah semua ruangan, lapangan, halaman dan sekelilingnya yang merupakan
bagian-bagian atau yang berhubungan dengan tempat tenaga kerja tersebut (Ayat
1).
2.
Pengurus, ialah orang
yang mempunyai tugas memimpin langsung suatu tempat kerja atau bagiannya yang
berdiri sendiri (Ayat 2).
3.
Pengusaha ialah:
a. Orang
atau badan hukum yang menjalankan sesuatu usaha milik sendiri dan untuk
keperluan itu menggunakan tempat kerja.
b. Orang
atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan sesuatu bukan miliknya
dan untuk keperluan itu mempergunakan tempat kerja.
c. Orang
atau badan hukum yang di Indonesia mewakili orang atau dadan hukum termaksud
pada a dan b, jikalau yang diwakili berkedudukan di luar negeri (Ayat 3).
4.
Direktur, ialah pejabat
yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja untuk melaksanakan undang-undang
keselamatan kerja (Ayat 4).
5.
Pegawai pengawas, ialah
pegawai teknis berkeahlian khusus dari Departemen Tenaga Kerja yang ditunjuk
oleh Menteri Tenaga Kerja (Ayat 5).
6.
Ahli keselamatan kerja,
ialah tenaga kerja teknis berkeahlian khusus dari luar Departemen Tenaga Kerja
yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja untuk mengawasi ditaatinya
undang-undang keselamatan kerja (Ayat 6).
Mengenai
ruang lingkupnya undang-undang keselamatan kerja menegaskan sebagai berikut
(Pasal 2):
1.
Yang diatur oleh
undang-undang ini ialah keselamatan kerja dalam segala tempat kerja, baik
didarat, didalam tanah, dipermukaan air, didalam air, maupun diudara, yang
berada didalam wilayah kekuasaan hukum Republik Indonesia (Ayat 1).
2.
Ketentuan-ketentuan
dalam 1 tersebut diatas berlaku dalam tempat kerja, yang merupakan
tempat-tempat:
a. Dibuat,
dicoba, dipakai atau dipergunakan mesin, pesawat, alat, perkakas, peralatan
atau instalasi yang berbahaya atau dapat menimbulkan kecelakaan, kebakaran atau
peledakan.
b. Dibuat,
diolah, dipakai, dipergunakan, diperdagangkan, diangkut, atau disimpan bahan
atau barang yang dapat meledak, mudah terbakar, menggigit atau beracun,
menimbulkan infeksi, bersuhu tinggi.
c. Dikerjakan
pembangunan, perbaikan, perawatan, pembersihan atau pembongkaran rumah, gedung,
atau bangunan lainnya termasuk bangunan pengairan, saluran atau terowongan
dibawah tanah dan sebagainya atau dilakukan pekerjaan persiapan.
d. Dilakukan
usaha pertanian, perkebunan, pembukaan hutan, pengerjaan hutan, pengolahan kayu
atau hasil hutan lainnya, peternakan, perikanan dan lapangan kesehatan.
e. Dilakukan
usaha pertambangan dan pengolahan emas, perak , logam atau bijih logam lainnya,
batu-batuan, gas, minyak atau mineral lainnya, baik dipermukaan atau didalam
bumi maupun didasar perairan.
f. Dilakukan
pengangkutan barang, binatang atau manusia, baik didaratan, melalui terowongan,
dipermukaan air, dalam air maupun diudara.
g. Dikerjakan
bongkar muat barang muatan dikapal, perahu, dermaga, dok, stasiun, atau gudang.
h. Dilakukan
penyelaman, pengambilan benda dan pekerjaan lain didalam air.
i.
Dilakukan pekerjaan
dalam ketinggian diatas permukaan tanah atau perairan.
j.
Dilakukan pekerjaan
dibawah tekanan udara atau suhu yang tinggi atau rendah.
k. Dilakukan
pekerjaan yang mengandung bahaya tertimbun tanah, kejatuhan, terkena
pelantingan benda, terjatuh atau terperosok, hanyut atau terpelanting.
l.
Dilakukan pekerjaan
dalam tangki, sumur, atau lubang.
m. Terdapat
atau menyebar suhu, kelembaban, debu, kotoran, api, asap, uap, gas, hembusan
angin, cuaca, sinar atau radiasi, suara atau getaran.
n. Dilakukan
pembuangan atau pemusnahan sampah atau limbah.
o. Dilakukan
pemancaran, penyinaran atau penerimaan radio, radar, televisi atau telepon.
p. Dilakukan
pendidikan, pembinaan, percobaan, penyelidikan atau riset (penelitian) yang
menggunakan alat teknis.
q. Dibangkitkan,
diubah, dikumpulkan, disimpan, dibagi-bagikan atau disalurkan listrik, gas,
minyak atau air.
r.
Diputar film,
dipertunjukkan sandiwara atau diselenggarakan rekreasi lainnya yang memakai
perlatan, instalasi listrik atau mekanik (Ayat 2).
3. Dengan
peraturan perundangan dapat ditunjuk sebagai tempat kerja, ruangan atau
lapangan lainnya yang dapat membahayakan keselamatan yang bekerja dan atau yang
berada diruangan atau lapangan itu dan dapat diubah perincian tersebut dalam
ayat 2.
Syarat-syarat
keselamatan kerja diatur dalam pasal 3 dan 4 undang-undang keselamatan kerja
yang berbunyi sebagai berikut:
1.
Dengan peraturan
perundangan ditetapkan syarat-syarat keselamatan kerja untuk:
a. Mencegah
dan mengurangi kecelakaan.
b. Mencegah,
mengurangi dan memadamkan kebakaran.
c. Mencegah
dan mengurangi peledakan.
d. Memberi
kesempatan atau jalan menelamatkan diri pada waktu kebakaran atau
kejadian-kejadian lain yang berbahaya.
e. Memberi
pertolongan pada kecelakaan.
f. Memberi
alat-alat perlindungan diri pada para pekerja.
g. Mencegah
dan mengendalikan timbul dan menyebar luasnya suhu, kelembaban, debu, kotoran,
asap, uap, gas, hembusan angin, cuaca, sinar dan radiasi, suara dan getaran.
h. Mencegah
dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja baik fisik maupun psikis,
keracunan, infeksi dan penularan.
i.
Memperoleh penerangan
yang cukup dan sesuai.
j.
Mengatur suhu dan
lembab udara yang baik.
k. Mengatur
penyegaran udara yang cukup.
l.
Memelihara kesehatan dan
ketertiban.
m. Memperoleh
keserasian antara tenaga kerja, alat kerja, lingkungan, cara dan proses
kerjanya.
n. Mengamankan
dan memperlancar pengangkutan orang, binatang, tanaman atau barang.
o. Mengamankan
dan memelihara segala jenis bangunan.
p. Mengamankan
dan memperlancar pekerjaan bongkar muat, perlakuan dan penyimpanan barang.
q. Mencegah
terkena aliran listrik yang berbahaya.
r.
Menyesuaikan dan
menyempurnakan pengamanan pada pekerjaan yang bahaya kecelakaannya menjadi
bertambah tinggi (Pasal 3 ayat 1).
2.
Dengan peraturan
perundangan dapat diubah perincian seperti dalam pasal 3 ayat 1 sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan, teknik dan teknologi serta pendapatan-pendapatan
baru di kemudian hari (Pasal 3 ayat 2).
3.
Dengan peraturan
perundangan ditetapkan syarat-syarat keselamatan kerja dalam perencanaan,
pembuatan, pengangkutan, peredaran, perdagangan, pemasangan, pemakaian,
penggunaan, pemeliharaan dan penyimpanan bahan, barang, produk teknis dan
aparat produksi yang mengandung dan dapat menimbulkan bahaya kecelakaan (Pasal
4 ayat 1).
4. Syarat-syarat
tersebut memuat prinsip-prinsip teknis ilmiah menjadi suatu kumpulan ketentuan
yang disusun secara teratur, jelas dan praktis yang mencakup bidang konstruksi,
bahan, pengolahan dan pembuatan perlengkapan alat-alat perlindungan, pengujian
dan pengesahan, pengepakan atau pembungkusan, pemebrian tanda-tanda pengenal
atas bahan, barang, produk teknis dan aparat produksi guna menjamin keselamatan
barang-barang itu sendiri, keselamatan tenaga kerja yang melakukannya dan
keselamatan umum (Pasal 4 ayat 2).
5.
Dengan peraturan
perundangan dapat dirubah perincian seperti dalam pasal 4 ayat 1 dan 2 dan
dengan peraturan perundangan ditetapkan siapa yang berkewajiban memenuhi dan
mentaati syarat-syarat keselamatan tersebut.
Pengawasan
undang-undang keselamatan kerja diatur dalam pasal 5, 6, 7 dan 8 sebagai
berikut:
1. Direktur
melakukan pelaksanaan umum terhadap undang-undang ini, sedangkan para pegawai
pengawas dan ahli keselamatan kerja ditugaskan menjalankan pengawasan langsung
terhadap ditaatinya undang-undang dan membantu pelaksanaannya.
2. Wewenang
dan kewajiban Direktur, pegawai pengawas dan ahli keselamatan kerja dalam
melaksanakan undang-undang diatur dengan peraturan perundangan (Pasal 5 ayat
2).
3. Barang
siapa tidak dapat menerima keputusan Direktur dapat mengajukan permohonan
banding kepada Panitia Banding (Pasal 6 ayat 1).
4. Tata
cara permohonan banding, susunan Panitia Banding, tugas Panitia Banding dan
lain-lain ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja (Pasal 6 ayat 2).
5. Keputusan
panitia banding tidak dapat dibanding lagi (Pasal 6 ayat 3).
6. Untuk
pengawasan berdasarkan undang-undang ini pengusaha harus membayar retribusi
menurut ketentuan-ketentuan yang akan diatur dengan peraturan perundangan
(Pasal 7).
7. Pengurus
diwajibkan memeriksakan kesehatan badan, kondisi mental dan kemampuan fisik
dari tenaga kerja yang akan diterimanya maupun akan dipindahkan sesuai dengan
sifat-sifat pekerjaan yang diberikan padanya (Pasal 8 ayat 1).
8. Pengurus
diwajibkan memeriksa semua tenaga kerja yang berada di bawah pimpinannya,
secara berkala pada dokter yang ditunjuk oleh pengusaha dan dibenarkan oleh
Direktur (Pasal 8 ayat 2).
9. Norma-norma
mengenai pengujian kesehatan ditetapkan dengan peraturan perundangan (Pasal 8
ayat 3).
Mengenai
pembinaan, diatur oleh undang-undang no 1 tahun 1970 hal-hal sebagai berikut:
1. Pengurus
diwajibkan menunjukkan dan menjelaskan pada tiap tenaga kerja baru tentang:
a.
Kondisi dan bahaya
serta yang timbul dalam tempat kerja.
b. Semua
pengamanan dan alat-alat perlindungan yang diharuskan dalam tempat kerjanya.
c.
Alat-alat perlindungan
diri bagi tenaga kerja yang bersangkutan.
d.
Cara dan sikap yang
aman dalam melaksanakan pekerjaannya.
2. Pengurus
hanya dapat mempekerjakan tenaga kerja yang bersangkutan setelah ia yakin bahwa
tenaga kerja tersebut telah memahami syarat-syarat tersebut.
3. Pengurus
diwajibkan menyelenggarakan pembinaan bagi semua tenaga kerja yang berada di
bawah pimpinannya, dalam pencegahan kecelakaan dan pemberantasan kebakaran
serta peningkatan keselamatan dan kesehatan kerja dalam pemberian pertolongan
pertama pada kecelakaan.
4.
Petugas diwajibkan
memenuhi dan mentaati semua syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang berlaku
bagi usaha dan tempat kerja yang dijalankannya (Pasal 9).
Pasal
10 undang-undang keselamatan kerja mengatur panitia keselamatan dan kesehatan
kerja:
1.
Menteri Tenaga Kerja
berwenang membentuk panitia pembinaan keselamatan dan kesehatan kerja guna
memperkembangkan kerja sama, saling pengertian dan partisipasi efektif dari
pengusaha atau pengurus dan tenaga kerja dalam tempat kerja untuk melaksanakan
tugas dan kewajiban bersama di bidang keselamatan dan kesehatan kerja dalam
rangka melancarkan usaha berproduksi (Pasal 10 ayat 1).
2.
Susunan panitia pembina
keselamatan dan kesehatan kerja, tugas dan lain-lain ditetapkan oleh Menteri
Tenaga Kerja (Pasal 10 ayat 2).
Menurut
undang-undang keselamatan kerja, kecelakaan yang terjadi harus dilaporkan
dengan mengikuti ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1.
Pengurus diwajibkan
melaporkan setiap kecelakaan yang terjadi dalam tempat kerja yang dipimpinnya,
pada pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja (pasal 11 ayat 1).
2.
Tata cara pelaporan dan
pemeriksaan kecelakaan oleh pegawai termaksud dalam ayat 1 diatur dengan
peraturan perundangan.
Dengan
peraturan perundangan diatur kewajiban dan atau hak tenaga kerja untuk (pasal
12):
1.
Memberikan keterangan
yang benar bila diminta oleh pegawai pengawas dan atau ahli keselamatan kerja.
2.
Memakai alat-alat
perlindungan diri yang diwajibkan.
3.
Memenuhi dan mentaati
semua syarat-syarat keselamatan dan kesehatan kerja yang diwajibkan.
4.
Meminta pada pengurus
agar dilaksanakan semua syarat keselamatan dan kesehatan kerja yang diwajibkan.
5.
Menyatakan keberatan
bekerja pada pekerjaan yang syarat keselamatan dan kesehatan kerja serta
alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan diragukan olehnya kecuali dalam
hal-hal khusus ditentukan lain oleh pegawai pengawas dalam batas-batas yang
masih dapat dipertanggung jawabkan.
Adapun
kewajiban pengurus diatur dalam pasal 14 yang menyatakan bahwa pengurus
diwajibkan:
1.
Secara tertulis
menempatkan dalam tempat kerja yang dipimpinnya semua syarat keselamatan kerja
yang diwajibkan dan semua peraturan pelaksanaannya yang berlaku bagi tempat
kerja yang bersangkutan pada tempat-tempat yang mudah dilihat dan terbaca dan
menurut petunjuk pegawai pengawas atau ahli keselamatan kerja.
2.
Memasang dalam tempat
kerja yang dipimpinnya, semua gambar keselamatan kerja yang diwajibkan dan
semua bahan pembinaan lainnya, pada tempat yang mudah dilihat dan terbaca
menurut petunjuk pegawai petugas atau ahli keselamatan kerja.
3.
Menyediakan secara
cuma-cuma semua alat perlindungan diri yang diwajibkan pada tenaga kerja yang
berada di bawah pimpinannya dan menyediakan bagi setiap orang lain yang
memasuki tempat kerja tersebut, disertai dengan petunjuk-petunjuk yang
diberikan menurut pegawai pengawas atau ahli keselamatan kerja.
Sebagaimana
ketentuan-ketentuan penutup undang-undang keselamatan kerja, terdapat
pengaturan-pengaturan mengenai ancaman hukuman, tempat-tempat kerja yang telah
ada, peraturan peralatan dan sebagainya. Pengaturan-pengaturan itu adalah
sebagai berikut:
1.
Pelaksanaan ketentuan tersebut
pada pasal-pasal diatas diatur lebih lanjut dengan peraturan perundangan (pasal
15, ayat 1).
2.
Peraturan perundangan tersebut
pada pasal 15 ayat 1 dapat memberikan ancaman pidana atas pelanggaran
peraturannya dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3(tiga) bulan atau denda
sebesar-besarnya Rp. 100.000 (seratus ribu rupiah) (pasal 15, ayat 2).
3.
Tindak pidana tersebut adalah
pelanggaran (pasal 15, ayat 3).
4.
Pengusaha yang mempergunakan
tempat-tempat kerja yang sudah ada pada waktu undang-undang ini mulai berlaku
wajib mengusahakan didalam satu tahun sesudah undang-undang ini mulai berlaku,
untuk memenuhi ketentuan-ketentuan menurut atau berdasarkan undang-undang ini
(pasal 16).
5.
Selama peraturan perundangan untuk
melaksanakan ketentuan dalam undang-undang ini
belum dikeluarkan, maka peraturan dalam bidang keselamatan kerja yang
ada pada waktu undang-undang ini mulai berlaku, tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan undang-undang ini (pasal 17).
2.4.2.
Peraturan Undang-Undang Yang
Lainnya
Selain
undang-undang tentang kecelakaan, terdapat juga beberapa peraturan-peraturan
pemerintah lainnya, diantaranya sebagai berikut:
1.
Peraturan Menteri Perburuhan (PMP)
No.7 tahun 1964 tentang syarat kesehatan kebersihan serta penerangan dalam
tempat kerja.
Peraturan ini mengatur tentang: tempat kerja, bangunan
perusahaan, halaman, jalanan, saluran dan sampah, kakus WC, tempat mandi,
dapur, ruang makan, peralatan makan dan air minum, pemeriksaan kesehatan tenaga
kerja, ruang udara (cubic space),
ruang gerak, ventilasi serta penerangan tempat kerja.
2.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi No. Per.01/Men/1981 tentang kewajiban melaporkan penyakit akibat
kerja. Sedangkan pelaksanaannya diatur dalam Keputusan menteri Tenaga Kerja
No.KEPTS/333/MEN/1989.
Jenis-jenis penyakit akibat kerja yang harus dilaporkan,
antara lain:
a)
Pneumokonioses yang disebabkan oleh debu
mineral.
b)
Penyakit-penyakit paru dan saluran
pernapasan (bronkhopulmoner) yang
disebabkan oleh debu logam keras.
c)
Asma akibat kerja.
d)
Golongan penyakit-penyakit yang
disebabkan oleh berbagai bahan kimia atau persenyawaan yang beracun.
e)
Penyakit-penyakit yang disebabkan
oleh gas atau uap penyebab asfiksian.
f)
Kelainan pendengaran yang
disebabkan oleh kebisingan.
g)
Penyakit-penyakit yang
disebabkan oleh getaran mekanik.
h)
Penyakit-penyakit yang disebabkan
oleh udara yang bertekanan lebih dan disebabkan oleh radiasi.
i)
Penyakit-penyakit kulit yang
disebabkan oleh penyebab-penyebab fisik, kimiawi atau biologis lainnya.
j)
Kanker kulit dan paru yang
disebabkan oleh bahan kimia.
k)
Penyakit-penyakit infeksi dan
parasit dalam melakukan pekerjaan.
3.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.03/Men/1982, tentang
pelaanan kesehatan kerja, sedangkan pelaksanaanya diatur dalam Keputusan
Direktur Jenderal Bina Hubungan Ketenagakerjaan dan Pengawasan Norma Kerja
No.Kep.157/M/BW/1989.
Pelayanan kesehatan kerja mempunyai tugas dan fungsi yang
khas, tidak sekedar kegiatan poliklinik berlaku. Pelayanan kesehatan kerja
meliputi:
a)
Pemeriksaan kesehatan sebelum
kerja, berkala dan khusus.
b)
Pembinaan dan pengawasan
penyesuaian pekerjaan terhadap lingkungan kerja, atas perlengkapan senitair dan
kesehatan tenaga kerja.
c)
Pencegahan dan pengobatan atas penyakit
umum dan penyakit akibat kerja.
d)
Pertolongan pertama pada
kecelakaan (PPPK).
e)
Pendidikan kesehatan bagi tenaga
kerja dan latihan bagi petugas PPPK.
f)
Memberikan nasehat dalam
perencanaan dan pembuatan tempat kerja, pemilihan alat pelindung diri yang sesuai,
pembinaan gizi kerja dan penyelenggaraan kantin ditempat kerja.
g)
Membantu usaha rehabilitasi akibat
kecelakaan atau penyakit akibat kerja.
h)
Pembinaan dan pengawasan terhadap
tenaga kerja yang mempunyai kelainan tertentu dalam kesehatannya.
4.
Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI
No.Kop.612/Men/1989, tentang penyediaan data bahan berbahaya terhadap
keselamatan dan kesehatan kerja.
Dalam keputusan ini tercantum ketentuan-ketentuan sebagai
berikut:
a)
Kewajiban bagi perusahaan atau
industri yang menggunakan, menyediakan, memakai, memproduksi, mengangkut dan
mengedarkan bahan berbahaya dalam mengisi dan menyediakan data bahan berbahaya
yang mencangkup data tentang pengaruh terhadap kesehatan dan keselamatan tenaga
kerja serta petunjuk penanggulangannya.
b)
Penunjukan pejabat yang
bertanggung jawab dalam penanganan bahan berbahaya dan penanggulangan bahaya
yang mungkin terjadi akibat adanya bahan berbahaya tersebut.
5.
keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup No. Kep.13/MENLH/3/1995, tentang baku mutu emisi sumber tidak
bergerak.
Dalam keputusan ini yang dimaksud dengan:
a)
Baku mutu emisi sumber tidak
bergerak adalah batas maksimum emisi yang diperbolehkan dimasukan didalam
lingkungan.
b)
Emisi adalah mahluk hidup, zat,
energi dan komponen lain yang dihasilkan dari kegiatan yang masuk atau
dimasukan keudara ambien.
c)
Batas maksimum adalah kadar
tertinggi yang masih diperbolehkan dibuang keudara ambien. Standar emisi yang
diperkenankan tercantum dalam keputusan ini.
6.
Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup No. Kep.49/MENLH/11/1996, tentang baku tingkat getaran.
Dalam keputusan ini yang dimaksud dengan:
a)
Getaran adalah gerakan bolak balik
suatu masa melalui keadaan seimbang terhadap suatu titik acuan.
b)
Getaran mekanik adalah getaran
yang ditimbulkan oleh sarana dan peralatan kegiatan manusia.
c)
Getaran sismik adalah getaran tanah
yang disebabkan oleh peristiwa alam dan kegiatan manusia.
d)
Getaran kejut adalah getaran yang
berlangsung secara tiba-tiba dan sesaat.
e)
Baku tingkat getaran mekanik dan
getaran kejut adalah batas maksimal.
f)
Tingkat getaran mekanik yang
diperbbolehkan dari usaha atau kegiatan pada media padat sehingga tidak
menimbulkan gangguan terhadap kenyamanan dan kesehtan serta keutuhan bangunan.
7.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja,
Transmigrasi dan Koperasi No.
Per.01/men/1976, tentang kewajiban latihan hiperkes bagi dokter perusahaan.
Dokter perusahaan ialah setiap dokter yang
ditunjuk atau bekerja diperusahaan yang bertugas dan bertanggung jawab atas
higiene perusahaan, kesehatan dan keselamatan kerja. Setiap perusahaan yang
memperkejakan dokter wajib mengirimkan dokter perusahaannya untuk mendapat
pelatihan dalam bidang hiperkes dan keselamatan kerja.
8.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi No. Per.01/Men/1979, tentang kewajiban latihan higiene perusahaan,
kesehatan dan keselamatan kerja bagi tenaga paramedis perusahaan.
Tenaga yang ditunjuk atau ditugaskan untuk
melaksanakan atau membantu penyelenggaraan tugas-tugas higiene perusahaan,
kesehatan dan keselamatan kerja diperusahaan atas petunjuk dan bimbingan dokter
perusahaan wajib mendapat latian dalam bidang hiperkes dan keselamatan kerja.
2.5. Skor Resiko (Risk Score)
Kecelakaan dilingkungan kerja sangat beragam dan jumlahnya banyak,
karena anggaran yang dikeluarkan oleh pihak manajemen industri terbatas, maka
perlu dilakukan pemilihan terhadap kondisi bahaya yang ada agar kondisi dengan
keseriusan terbesar menjadi prioritas penanganan. Dengan adanya kebutuhan
memilih prioritas bahaya tersebut, digunakan alat untuk menentukan besar skor
resiko bahaya dari tiap kecelakaan.
Adapun yang menjadi tujuan perhitungan skor resiko, yaitu:
a.
Mengetahui apakah pencegahan
kecelakaan harus disempurnakan.
b.
Menentukan pengalaman kecelakaan
dari suatu perusahaan.
c.
Menentukan apakah pengalaman
kecelakaan tersebut menjadi lebih baik atau lebih buruk dengan berjalannya
waktu.
d.
Membedakan pengalaman dari suatu
unit operasi dengan yang lainnya.
e.
Menjadikan dasar perbandingan
antar unit dalam pencegahan kecelakaan.
Menurut
Luki Mantera Dwi Putra Romly yang dikutip dari (William T. Fine, 1980), ada dua
metode dalam pengontrolan bahaya, yaitu:
1.
Metode untuk perhitungan resiko,
untuk menentukan keseriusan suatu kondisi bahaya sehingga dapat membantu
pengambilan keputusan akan suatu tindakan pencegahan (preventif).
2.
Metode untuk menentukan apakah
perkiraan biaya dialokasikan untuk suatu tindakan perbaikan guna meringankan
suatu kondisi bahaya telah efektif dan efesien (justified).
Untuk
memenuhi hal tersebut, Fine membuat suatu persamaan untuk menghitung besarnya
skor resiko dari tiap kecelakaan dan persamaan untuk menghitung justifikasi
tindakan perbaikan.
Dalam
suatu industri yang banyak menggunakan mesin berat sering terjadi kecelakaan
yang disebabkan oleh kondisi bahaya yang ada. Karena keterbatasan waktu,
fasilitas pemeliharaan dan kondisi bahaya tersebut tidak dapat diminimalisasi
sekaligus secara serentak. Untuk itu dicari besar skor resiko masing-masing
kecelakaan yang kemudian diurutkan dan ditentukan prioritas yang harus
ditangani terlebih dahulu. Tanpa menghitung skor resiko maka ada kemungkinan terjadinya
prioritas perbaikan terhadap kondisi bahaya yang kurang tinggi angka resikonya
dibandingkan dengan kondisi bahaya lain yang ternyata lebih parah dan butuh
penanganan segera.
Persamaan
skor resiko menurut (Fine, 1980) adalah sebagai berikut:
RS (Risk Score) = E x C x P………………………………………(2.1)
Injury Frequency Rate (E) =
...... (2.2)

Injury Severity Rate (C) =
.................(2.3)

Probability (P) =
............................................(2.4)

Dimana:
RS
= Skor Resiko/risk score
C = Consequence of the particular accident (Konsekuensi yang mungkin terjadi akibat bahaya) lebih
dikenal sebagai Injury Severity Rate.
E = Frequency of exposure to the same direct
cause (Frekuensi paparan terhadap penyebab
langsung yang sama) / Injury Frequency
Rate.
P = Probability that similar accident will occur
resultings in the same cause and heaving the same etiology, in the accident
consideration.
Number of disabling injury = ( Jumlah kecelakaan/kerugian
dari luka-luka)
Number of day lost = (Jumlah hari yang hilang)
Total
number of man hour worked
= (Jumlah total karyawan x Jumlah hari/tahun x Jam kerja/hari)
Days = ( Jumlah hari/tahun)
Perhitungan Risk
Score ini dapat pula digunakan untuk memperkirakan resiko kecelakaan yang
belum terjadi. Pada prinsipnya persamaan yang dipakai sama dengan yang sudah
dijelaskan, namun dengan menggunakan nilai C (consequence), E (exposure)
dan P (probability). Berikut contoh
perhitungan resiko untuk kecelakaan yang belum terjadi dapat dilihat pada tabel
dibawah ini.
Tabel 2.1. Nilai consequences
Tingkat keparahan
|
Rating
|
|
a
|
Bencana alam atau malapetaka banyak kecelakaan fatal (yang mengakibatkan
cacat atau meninggal), kerusakan yang luas (lebih dari $1.000.000)
|
100
|
b
|
Beberapa kecelakaan fatal, kerusakan ($500.000-$1.000.000)
|
50
|
c
|
Kecelakaan fatal, kerusakan ($100.000-$500.000)
|
25
|
d
|
Cedera sangat serius (cacat permanen, meninggal), kerusakan
($1000-$100.000)
|
15
|
e
|
Cedera yang menyebabkan cacat, kerusakan sampai $1000
|
5
|
f
|
Luka minor, memar, benjolan, kerusakan minor
|
1
|
Tabel 2.2. Nilai exposure
Tingkat keparahan
|
Rating
|
|
a
|
Terus menerus (sering dalam sehari)
|
10
|
b
|
Sering (sekitar sekali sehari)
|
6
|
c
|
Sekali-kali (sekali seminggu atau sekali sebulan)
|
3
|
d
|
Biasa (sekali sebulan sampai dengan sekali setahun)
|
2
|
e
|
Jarang (pernah terjadi)
|
1
|
f
|
Sangat jarang (belum pernah terjadi tapi ada kemungkinan terjadi)
|
0,5
|
Tabel 2.3. Nilai probability
Tingkat keparahan
|
Rating
|
|
a
|
Sangat memungkinkan terjadi bila ada kejadian bahaya
|
10
|
b
|
Cukup memungkinkan terjadi (peluang kejadian 50:50)
|
6
|
c
|
Tidak bisa terjadi, kebetulan
|
3
|
d
|
Merupakan kejadian yang peluangnya kecil, diketahui pernah terjadi
|
1
|
e
|
Sangat kecil kemungkinannya, tapi dipahami akan mungkin terjadi (tidak
pernah terjadi setelah bertahun-tahun pemaparan)
|
0,5
|
f
|
Secara praktek tidak mungkin terjadi, merupakan kebetulan (peluang
kejadian sangat kecil, tidak pernah terjadi sebelumnya)
|
0,1
|
Hasil
berupa angka skor resiko yang diperoleh diurutkan dan dimasukan dalam 3 zona
resiko. Batas zona resiko adalah sebagai berikut:
a.
Zona resiko tinggi (high risk zone), dimana tiap kejadian
dengan skor resiko dalam zona ini butuh penanganan segera dan kegiatan harus
dihentikan sampai perbaikan tersebut membuat skor resiko menurun.
b.
Zona resiko menengah (medium risk zone), dimana tiap kejadian
dengan skor resiko dalam zona ini butuh penanganan segera, namun tidak perlu
menghentikan kegiatan.
c.
Zona resiko rendah (lower risk zone), dimana kejadian dengan
skor resiko dalam zona ini tidak dinyatakan sebagai kondisis emergency, namun butuh penanganan yang
tidak boleh tertunda terlalu lama.
2.6.Prosedur Audit Kecelakaan Kerja
Dengan
dilakukannya tindakan perbaikan dan pencegahan, organisasi harus menyiapkan
segala kondisi yang diperlukan apabila terjadi ketidak sesuaian yang mencakup
kecelakaan, insiden termasuk potensi-potensinya. Segala tindakan yang dilakukan
harus diatur dalam prosedur, tujuan prosedur adalah untuk mencegah terulangnya
kembali kejadian yang sama dimasa mendatang, walaupun dalam kenyataannya
kecelakaan selalu ada. Yang menjadi masukan dalam prosedur ini, yaitu
prosedur-prosedur yang mencakup laporan kecelakaan, insiden atau bahaya serta
laporan pemeliharaan.
Adapun
yang menjadi tahapan audit dalam upaya melaksanakan perbaikan dari kecelakaan
kerja yang terjadi ini terdapat pada empat fase dasar, diantaranya yaitu seperti pada gambar berikut ini.

Gambar 2.1.
Fase dasar tahapan audit
1.
Perencanaan
Pada tahap audit perencanaan ini dilakukan langkah-langkah
dalam perencanaan, yaitu:
v Tipe audit apa yang akan dilakukan.
v Mengumpulkan informasi awal.
v Siapa yang melakukan audit.
v Menyusun check list.
v Memeriksa hasil audit sebelumnya.
v Berbicara/berkoordinasi kepada departemen yang akan diaudit.
v Mempersiapkan rencana audit.
2.
Pelaksanaan audit
Pada pelaksanaan audit ini, audit dilakukan dengan
menggunakan check list yang dapat
berguna sebagai berikut, yaitu:
v Sebagai alat audit.
v Dibuat berdasarkan standar safety
yang dikenal.
v Disusun disekitar operasi departemen berdasarkan standar dan prosedur
perusahaan.
v Alat untuk mengingat (aide memory).
v Penyedia kelangsungan (prosedure
of continuity).
v Catatan tentang cakupan audit (audit
coverage).
3.
Analisis hasil audit
Berikut ini terdapat kegunaan dari langkah-langkah analisis
hasil-hasil audit, diantaranya yaitu:
v Menilai tingkat kesesuaian (degree
at complaince) terhadap prosedur/kondisi standar.
v Pengkategorian ketidaksesuaian (deficiencies)
dengan tingkat keseriusan (severity).
4.
Laporan tindakan koreksi (corective action)
Semua hasil audit yang dilaporkan sebagai ketidaksesuaian (deficiencies) harus direkomendasikan
lengkap dengan lampiran bukti untuk kemudian dipakai sebagai langkah
penyelesaian melalui form verifikasi corrective action.
Berikut adalah contoh prosedur pembinaan dalam
hal audit di perusahaan seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 2.2. Contoh prosedur audit/pembinaan
di perusahaan
Setelah melakukan audit, auditor harus membuat
laporan temuan. Laporan temuan ini harus jelas dan dapat ditelusuri. Laporan
audit diberi tanggal dan ditandatangani oleh auditor. Laporan semua audit
sebaiknya memiliki item-item sebagai
berikut:
·
Sasaran
dan lingkup audit.
·
Anggota
tim auditor dan perwakilan auditee
dan subjek yang diaudit.
·
Dokumen
referensi.
·
Ketidaksesuaian
yang ditemukan.
·
Penilaian
auditor terhadap temuan tersebut dan derajat kesesuaiannya.
·
Distribusi
laporan audit. Laporan audit harus ditindak lanjuti segera dan diperbaiki
sesuai dengan tingkat temuan yang ada, monitoring tindak lanjut audit merupakan
hal yang sangat penting.
2.7.Analisis Regresi Linear Sederhana
Regresi linear sederhana merupakan bagian
regresi yang mencakup hubungan linear satu variabel tak bebas dengan satu
variabel bebas. Berdasarkan pengetahuan masa lalu, untuk
analisis regresi akan dibedakan dua jenis variabel, yaitu untuk keperluan penentuan
variabel bebas dinyatakan dengan (Xi) sedangkan variabel tak bebas akan
dinyatakan dengan (Yi). Dalam metode regresi linear pola hubungan antara
suatu variabel yang mempengaruhinya dapat dinyatakan dengan suatu garis lurus.
Persamaan
regresi linear dapat dinyatakan sebagai berikut:
Y = a + bx....................................................... (2.5)
Dari
rumus diatas diperoleh persamaan rumus untuk nilai a dan b, diantaranya sebagai
berikut:
a =
............................. (2.6)

b =
....................................... (2.7)

Dimana:
Y= Besarnya nilai/variabel tidak bebas
a
= Nilai trend pada periode dasar
b
= Tingkat perkembangan nilai
X= Unit tahun yang
dihitung dari periode dasar/variabel
bebas